Kecewa, sedih, bertanya tanya, mencoba mengerti dans ebagainya. begitulah beragam sikap sera komentar kalangan pariwisata di Bali atas ditunda atau dibatalkannya kedatangan maskapai Singapore Airline (SQ) yang sedianya mendarat di bandara I Gusti Ngurah rai, Selasa 4 Mei 2021. Alasannya, Bali bukan Entry Point bagi Pelaku Perjalanan Luar Negeri (PPLN) . Harapan pariwisata Bali menggeliat yang nantinya berimbas pada pertumbuhan ekonomi, menjadi hampa. Apalagi, alasan pembatakan kedatangan SQ ini juga dilatarbelakangai keputusan Satgas Covid-19 Nasional dan menyebut kesiapan daerah soal penatalaksanaan penerimaan kedatangan Pekerja Migran Indonesia bila bandara dibuka. Lalu, apa sistem penerapan Protokol Kesehatan (Prokes) di Bali, belum penuhi standar?
Ketua Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Gianyar, Adit Pande sebagai insan pariwisata dirinya mengaku terkejut dan sangat kecewa. Sebenarnya, surat yang diberikan oleh Kementrian Kesehatan poin pertama mengenai pengetatan kedatangan warga negara spesifik, seperti India, Filipina, Pakistan dan lainnya, maka disurat itu pada poin No. 10 mengenai bandara yang sementara menerima kedatangan adalah, 4 bandara, dimana Bali tidak termasuk. Esensi dari surat ini, sesuangguhnya ini pengetatan untuk kedatangan warga India dan sebaginya itu.
Namun, Adit Pande mempertanyakan, kenapa rencana yang sudah dibuat dari 1 – 2 bulan terakhir, seperti persiapan airport bisa kembali menerima kedatangan orang luar negeri dengan visa khusus, visa bisnis atau E-Visa menjadi sia-sia. Semua itu sudah dilaksanakan, bahkan airport sudah siap, hotel yang menjadi karantina selama 5 hari juga sudah siap, bahkan sudah mengikuti prosedur apa yang dilakukan oleh airport lainnya. Demikian pula menyiapkan rumah sakit, klinik dan persiapan untuk swab. “Di masing-masing hotel tempat karantina juga sudah melakukan Prokes standar Cleanliness, Health, Safety, dan Environment (CHSE) mulai dari tamu datang sampai berada di tempat karantina ahar terbebas dari Covid-19,” ungkapnya.
Semua itu sudah disimulasikan, tetapi pada akhitrnya dibatalkan. Padahal, Bali yang hampir 80 persen berpenghasilan dipariwisata akan menjadikan itu sebuah harapan baru. Ketika rencana terbangnya SQ itu dihembuskan, sudah ada angin segar. “Wisatawan yang berkunjung untuk bisnis, dengan visa khusus itu mereka datang ke Jakarta, tetapi sebenarnya mereka ingin ke Bali, kenapa tidak langsung diberikan ke Bali saja. Ini juga sebagai persiapan atau pelatihan bagaimana nanti kita bisa membuka border yang direncanakan di Juni – Juli ini,” ujarnya.
Mantan Ketua Ubud Hotel Association (UHA) ini menegaskan, kedatangan Presiden kemarin juga secara lisan sempat mengatakan, di pertengahan 2021 rencananya border ini dibuka. Walau untuk Mei ini ditunda, tetapi dirinya berharap pada saat Juli nanti tidak ada penundaan lagi untuk border internasinal. “Kami di Bali sudah menjadi provinsi pertumbuhan ekonomi terpuruk dan berada di No. 34 dari 34 provindi di Indonesia. Kalau ini situasi tersu terjadi, tentunya semua masyarakat Bali sangat terdampak. Semoga semuanya tetap sesuai dengan plan, yakni bisa dibuka dengan prokes,” harapnya.
Ketua DPD Asita 1971 Bali, I Putu Winastra, S.Sos mengatakan, alasan pembatalan Singapore Airlines ke Bali itu menunjukan adanya sebuah aturan yang kurang jelas dan tegas. Ada aturan yang tumpang tindih antara pusat dan daerah, akan menjadi keraguan-raguan buat pelaku pariwisata akan dibukanya border pada Juni – Juli. “Kami dari ASITA 1971 sebagai asiosiasi perjalanan wisata berencana mengajak stake hoder pariwisata di Provinsi Bali dan Kabupaten Kota untuk bisa bertemu dan bersama-sama mendiskusikan dan menyuarakan apa yang harus kita sampaikan kepada pemerintrah,” katanya.
Hal itu sangat penting, sebab dengan berkumpul dan menghasilkan satu suara, sehingga dorongannya menjadi lebih kuat dan besar. Jangan sebagai pelaku di industri berjalan sendiri-sendiri, karena sudah setahun lebih pengusaha pariwisata menderita. “Sebagai contoh lagi, pengusaha yang dijanjikan hibah diperluas, belum jelas juga kapan turunnya. Walaupuan dibilang sudah proses tetapi, belum ada kepastrian. Soft loan yang digadang-gadang oleh pemerintah yang dijanjikan 9,7 triliun, apakah menjadi benar datang atau tidak. Takutnya, itu sebuah harapan yang disampaikan, sehingga kita merasa nyaman dan tidak perlu ada suara yang aneh-aneh,” paparnya.
Sebelumnya, Menteri sudah menyampaikan, bahwa pariwisata ini bukan penyebar Covid-19, sehingga ini yang harus disampaikan kepada masarakat dan pemerintah. Pariwisata Bali sudah mengimplementasikan Prokes, hotelnya di CHSE, guide, mobil, biro perjalanan, destinasi dan lainnya itu semua sudah diverifikasi dan tersertipikasi. “Nah, verifikasi dan tersertipikasi yang sudah dilakukan saja tidak diakui lagi oleh pemerintah, terus apa yang kita jadikan pedoman. Ini malah menjadi blunder di bawah,” tanya Wakil Ketua Bidang Promosi PHRI Bangli ini.
Makanya, tegas Owner De Umah Bali Undisan Bangli ini, semua stak holder harus bersuara menyampaikan kepada pemerintah, bahwa pariwisata Bali mesti dibuka, sehingga para pelaku pariwisata bisa melakukan sesuatu. Satu hal lagi yang perlu diingat, ketika Bali ini dibuka tidak serta merta wisatawan banyak yang akan datang. Memang, ada beberapa pemikiran ketika Bali ini maka warga negara lain akan datang karena di negaranya lock down. “Saya justru berpandangan lain. Kalau Bali dibuka maka ada sebuah kepastian kapan mereka datang, entah besok, dua bulan atau lima bulan. Intinya, mereka mengetahui kalau Bali sudah dibuka. Ketika tidak dibuka sambil menunggu negara lain habis lock down, lalu kapan? Justru itu dibuka. Masalah datang atau tidak, itu urusan kedua, yang jelas prokes dijaga dengan ketat dan diawasi semuanya,” tegasnya.
Hal yang sama juga dikatakan Ketua PHRI Tabanan, I Gusti Bagus Made Damara. Dirinya mengaku sedih dengan alasan pembatalan Singapore Airlines (SQ) mendarat di Bali. Sebagai stake holder pariwisata, dirinya juga mengaku sulit membuat kesimpulan, karena kadang kala antar departemen memiliki cara pandang yang berbeda. Termasuk pula Menteri Pariwisata untuk mengantisipasi pembukaan travel buble yang diharapkan Juni atau Juli ini. Sebut lagi, akan diusahakan ada kredit lunak, tetapi Kementrian Keuangan dan Himpunan perbankan negara tidak mau, sehingga bilapun jadi ada wisatawan maka pihak hotel hampir sebagian besar tidak memiliki dana operasi. “Kondisi properti yang sudah lebih dari satu tahun tak beroperasi, sehingga sudah banyak yang rusak maka perlu dana untuk perbaikan,” ucapnya. (BTN/bud)
Leave a Comment
Your email address will not be published. Required fields are marked with *