Bulan Bahasa Bali 2021 yang akan dibuka secara resmi oleh Gubernur Bali Wayan Koster di Gedung Ksirarnawa, Taman Budaya Bali, Senin (1/2) akan dimeriahkan dengan garapan seni Solah Tutur “Taru Pramana”. Garapan ini disajikan oleh Fakultas Seni Pertunjukan berkolaborasi dengan Sanggar Bungan Dedari Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar ini tidak berorientasi pada sendratari murni atau pada oratorium yang biasa disajiikan. “Garapan ini, dibuat dalam format baru yakni mengkombinasikan dengan ko kreasi,” kata penanggungjawab, Dr. I Komang Sudirga, SSn.,M.Hum didampingi Ketua Panitia, I Gede Mawan, SSn.,M.Si, Senin (2/1).
Ko Kreasi adalah sebuah pola pikir untuk mengkerasikan berbagai dimensi, berbagai elemen, baik itu sastra, teater, tari, musik dan juga pemanfaatan media digital, seperti elidi dengan penyediaan video dron dan lainnya. Dari segi bentuk, masih format baru yang disebut sebagai solah tutur. “Sebelumnya ada musikalisasi puisi, oratorium, maka saat ini membuat dalam bentuk solah tutur. Semoga nantinya menjadi model kedepan. Disamping penari menonjolkan tari, ada juga berdialog langsung, ada pula didukung dalang yang harus diisi pada adegan bertentu, ada yang harus menyanyi, mekidung sehingga ada berbagai elemen di dalamnya,” terangnya.
Garapan yang didukung sebanyak 51 penari dan 23 penabuh itu mengangkat kisah yang bersumber dari Lontar Taru Pramana, sehingga mengacu pada tema Bulan Bahasa Bali yakni “Wana Kerthi Sabdaning Taru Mahottama. Sementara makna yang ingin disampaikan ada banyak hal, seperti jangan “Jumawa” (sombong) setelah merasa hebat. Manusia mestinya bersahabat dengan alam. “Garapan ini ingin menyampaikan bahwa, kita hidup mesti selalu saling menyayangi dengan alam sebagai implementasi konsep Tri Hita Karana,” ucapnya.
Secara vertikal, anugrah Tuhan melalui tumbuh-tumbuhan dan hewan, manusia harus bisa bersahabat dengan mereka. Manusia tak bisa hidup tanpa adanya tumbuhan dan binatang. Oleh karean itu mari pelihara alam ini. Maka itu, dalam garapan ini juga diisi dengan upacara tumpek uduh sebagai simbolisasi melalui barong kedengkling. “Disana ada tokoh Subali, Sugriwa, dan Hanoman merupakan simbol dari kama petak dan kama bang sebagai perwujudan munculnmya mahluk hidup. Itu untuk mengharmonisasikan alam. Ketika tumbuhan itu diupacarai dengan sasat dan ada barong kedingkling,” terangnya.
Made Mawan menambahkan, media ungkap sebagai iringan mengangkat gong luang, sebuah gamelan sakral. Namun, saat ini bukan mengangkat sakralitasnya, melainkan media harmoni dengan alam. Sebab dalam gong luang itu ada salah satu alat unik bersumber dari kayu yakni “Saron”. Instrumen ini memang ditonjokla, disamping itu jumlah instrumennya mini, seperti ada yang berbilah, berpencon, ada kendang, gong dan ada tambahan suling. Dengan personil minim, tetapi mampu mendukung berbagai adegan dan mampu menimbulkan kebutuhan suasana pentas.
Dari segi patutan, Gong Luwang ini menggunkan tangga nada pelog 7 nada, sehingga memberikan keluluasaan kepada para komposer untuk mengeksplore berbagai kemungkinan lain di dalam gamelan. “Ini juga dapat mendukung untuk adegan-adegan di dalam garapan Solah Tutur Taru Pramana ini,” imbuhnya.
Garapan yang berdurasi 1 jam ini memanfaatkan busana yang menyesesuaikan dengan tema, sehingga pada tokah tertentu memanfaatkan isi alam, seperti menggunakan daun-daun untuk penari hutan, penari barong memenggunakan awir dari prasok dan lainnya. “Dan yang pasti, garapan ini betul-betul menerapkan Pemberlakukan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM). Dalam satu adegan, penari tak boleh dari 10 orang. Para penari juga memakai face shield. Para penari dan penabuh juga telah melaksanakan Tes Antigens untuk memastikan rasa aman,” tutup Mawan seriur. (BTN/bud)
Leave a Comment
Your email address will not be published. Required fields are marked with *