Penuh semangat dan antosias. Puluhan remaja dan anak-anak merupakan perwakilan dari kabupaten dan kota di Bali mengikuti Kriyaloka (Lokakarya) Seni Lukis Wayang Klasik di Kalangan Angsoka, Taman Budaya Denpasar, Selasa (14/6). Para peserta kriyaloka dalam ajang Pesta Kesenian Bali (PKB) ke-44 itu mendapatkan sejumlah teori mengenai seni lukis wayang klasik dan sekaligus melakukan kegiatan melukis wayang bersama.
Narasumber Cokorda Alit Artawan mengatakan, melalui lokakarya ini juga untuk menyamakan persepsi terkait teknik-teknik melukis wayang klasik, khususnya seni lukis wayang gaya Kamasan. “Seni lukis wayang klasik bisa tetap eksis hingga sekarang karena memang sangat khas dan memiliki banyak keunggulan,” kata akademisi di ISI Denpasar itu.
Perkembangan seni lukis wayang klasik di Bali, jika dilihat dari sejarahnya ditemukan pertama pada Prasasti Raja Anak Wungsu pada abad ke-11, kemudian berlanjut pada masa Kerajaan Gelgel di Kabupaten Klungkung pada 1686 Masehi. Puncak perkembangan seni lukis wayang klasik terjadi pada masa pemerintahan Raja Dalem Waturenggong pada abad ke-17 hingga ke-18 dengan kemunculan seniman pelopor seni lukis Kamasan yang bernama I Gede Mersadi dan bergelar Sangging Modara.
Seni lukis wayang klasik dengan ciri khasnya masing-masing tidak saja berkembang di Kamasan, Kabupaten Klungkung, juga berkembang di daerah Peliatan dan Ubud di Kabupaten Gianyar, serta di daerah Julah, Kabupaten Buleleng. “Awal mulanya, seni lukis wayang klasik digunakan lebih banyak untuk kebutuhan ritual upacara, barulah kemudian berkembang sebagai sarana edukasi dan juga berdampak memberi kesejahteraan bagi senimannya,” ucapnya.
Tokoh dan cerita yang diangkat dalam seni lukis wayang klasik diambil dari kisah Ramayana, Mahabharata, Sutasoma, Cupak, Calonarang, Panji, Tantri, Arja dan sebagainya. “Jaman sudah menguji betapa keberadaan seni lukis wayang klasik bisa tetap eksis sampai sekarang karena detail pengerjaan dan kekuatan warnanya benar-benar dijaga. Warna Bali itu tidak terkalahkan dan memang terlihat hidup dalam berbagai cuaca,” ujar Alit Artawan.
Para peserta diajak melukis wayang Kamasan dengan bahan warna yang dipakai untuk “warna Bali dibuat secara tradisional. Warna putih itu berasal dari tanduk rusa atau tulang babi yang dibakar), warna hitam dari jelaga dan warna kuning dari atal semacam bahan mineral. Selanjutnya warna merah dari gincu tiongkok, warna biru dibuat dari tumbuhan dengan getah leked dan sebagainya.
Sedangkan untuk merekatkan warna-warna pada media lukis digunakan ancur. Ancur tak hanya digunakan dalam seni lukis wayang klasik, juga pada topeng-topeng yang digunakan sebagai petapakan (benda sakral) di pura. “Ancur sebagai perekat warna dalam seni lukis wayang klasik semakin sulit didapatkan karena selama ini hanya didatangkan dari Perancis,” ucapnya.
Sedangkan untuk tahapan melukis wayang klasik, Sastrawan merinci terdiri dari tahap Molokin (sketsa awal menggunakan kayu widuri), kemudian Ngereka (menegaskan sketsa awal dengan warna hitam dan mangsi dengan menggunakan penelak). Selanjutnya tahap Ngewarna (memberi warna memakai kuas yang disebut penulian), tahap Nyawi (membuat detail ornamen), Neling (memberikan kontur hitam) dan terakhir tahap Mbuluin (penyelesaian dengan garis-garis halus pada detail lukisan. “Intinya dalam seni lukis wayang klasik ada uger-uger (aturan) yang tidak bisa dihilangkan, termasuk dari sisi bentuk mata dan alis yang harus disesuaikan dengan karakter yang dilukis,” ucapnya. (BTN/bud)
Leave a Comment
Your email address will not be published. Required fields are marked with *