Bali sangat kaya dengan event budaua, namun minim dalam pencatatannya, sehinga event itu hanya berjalan lalu menghilang. Belum banyak ada catatan yang bisa dijadikan referensi untuk penulisan berikutnya. Karena itu diperlukan satu ekosistem untuk saling menguatkam narasi, sehingga ada kesejahteraan penulis. “Kami merasa perslu ada sebuah komunitas penulis budaya, sehingga kebudayaan bisa tercatat untuk kemudian dibaca oleh anak-anak muda,” kata Kelian Penggak Men Mersi, Kadek Wahyudita ketika tampil sebagai pembicara pada Pablibagan Penggak Men Mersi yang berl;angsung di Penggak Men Mersi, Kesiman, Sabtu (26/11).
Dalam pabligbagan bertajuk “Problematika penulisan budaya di media massa” itu, Wahyudita menegaskan bukan tidak ada tulisan budaya, tulisan budaya itu ada, namun penulisan budaya itu belum bisa mrnyentuh yang teoat, karena adanya di kampus-kampus dalam bentuk penulisan ilmiah, namun sangat jarang dipahami masyarakat. “Perlu ada ekosiosten untuk menciptakan penulis budaya, sehingga bisa mengimbangi ruang-ruang budaya yang begitu cepat,” ungkap, seniman karawatidan ini.
Sementara I Made Sujaya memaparkan, persoalan penulisan budaya di media masa dan bagaimana wartawan itu menulis budaya. Menurutnya, topik yang diangkat dalam pablibagan ini cukup berat, Karena faktanya, media budaya kejarang ini kurang memberi perhatian pada ruang-ruang budaya. Dulu, Bali Post setiap minggu hampir dua kali menampilkan rulisan budaya, seperti rubric Kultrur yang menampilkam pikiran menganai budayua termasuk seni. “Masalah lain, media kita semakin ringkas singkat dan padat itu yang dianggap lebih mampu menarik pembaca dan pemasang iklan,” ungkapnya..
Disamping itu, kompetensi teman-teman wartawan yang juga sebagai andil, apalagi membuat krtik seni dan budaya, itu selalu ditagih, Karena itu, tantangan menulis kritik seni dan budaya itu ada pada media itu sendiri, juga pada penulisan wartawannya. “Tetapi, kita patut berbangga, ruang digital membuat situasi bergerak dari mas media, sehingga banyak yang mempunyai prodkes senditi dan penggarapannya tak kalah dengan media maintrims. Ruang di digital itu ruang baru untuk mengisi kekosongan di media cetak,” sebutnya.
Sementara Made Adnyana Ole mengawali pemaparannya mulai dari keinginannya menjadi wartawan, sehingga dapat membangun kebudayaan Bali itu, Pilihan itu dipiliohnya, karena tak ada acara lain yang bisa dilakukan, tidak ingin menjadi guru, pemgusaha atau petani. “Saya ingin menjadi wartawan budaya secara khusus menulis budaya. Ketika peristiwa kebudayaan ada di pusat sebut saja Pekan Komponis, hampir masyarakat tidak ada yang tahu. Masyarakat hanya tahu event saja, tetapi isinya tak ada yang membicarakannya. Karena didalam isi itu ada daya cipta, bagaimana seniman itu memciptakan,” paparnya.
Penulisan budaya memang ada, tetapi jarang sekali membicarakan karya dengan gagasan seniman siapa. Walau itu sudah ada di kampus-kampus tetapi hanya dalam bahasa ilmiah. Karena itu media masa itu penting untuk meringankan persoalan-persoalan gawat, agar orang awam mengerti. “Ketika festival tak ada menonton, karena selain berat orang menonton disuruh berpikir lagi, sehingga mereka kurang tertarik menyaksikannya. Tetapi, kalao ada wartawan yang menulis, maka hal itu masyarakat akan semakin mengerti. Orang akan menjadi tertarik datang menonton,” sebutnya. (BTN/bud)
Leave a Comment
Your email address will not be published. Required fields are marked with *