Dua pelukis dari negara berneda menggelar pameran di Komaneka Art Gallery, Komaneka at Keramas Beach. Dua seniman itu adalah Stephan Spicher berasal dari Swiss dan Made Wianta dari Bali Indonesia dengan mengusung tema “Between Chaos and Form”. Karya Wianta yang ditampilkan merupakan hasil proses kreatif di Rancate dan Basel Swiss serta di Bali. Begitu halnya karya-karya Stephan sebagian dibuat di Ticino, Basel, dan Bali.
Kurator Jean Couteau mengatakan, pameran ini menggaungkan perihal keteraturan dan kekacauan, Order and Chaos, yang terjadi baik di barat maupun Indonesia. Tak ayal kemodernan membawakan keduanya, Order dan Chaos. Dialektika itu tampil di dalam karya kedua seniman. Karya Stephan maupun Wianta tidak hanya mempertanyakan makna, tetapi justru menawarkan pemaknaan baru yang hakiki.
Bila Order berdialektika dengan Chaos, di mana sang makna itu sendiri. Bukankah budaya kehilangan arti. Bukankah kalau arti “luar” tidak ada, bukankan satu satunya cara adalah mencari-cari arti di dalam dialog dengan diri sendiri, tetapi juga, dan terutama, dengan “sang lain” yang juga cermin diri.
Dari kedua seniman, hanyalah Stephan yang masih hidup. Baginya, kini, Wianta bukan hanya seorang teman dekat, dia adalah juga “sang lain” yang memberikan arti. “Sang lain” yang juga menggali ketakterhinggan dari Chaos dan Order.
Memang, pertemuan dua pelukis Swiss dan Bali ini bukanlah hal yang baru. Ketika Stephan Spicher pertama kali ke Bali, dia diperkenalkan kepada Made Wianta oleh mendiang Urs Ramseyer. Bermula dari itu, Stephan segera menganggap Bali sebagai studio melukis baru. Suatu dialog dimulai antarkedua seniman.
Dialog pemikiran dan dialog artistik. Stephan dan Wianta saling menghormati. Mereka berbagi pengalaman. Pengalaman seniman barat yang tinggal di Bali untuk Stephan, dan seniman Bali yang pernah tinggal di barat untuk Wianta.
Ketika di Bali, Stephan dan Wianta kerap bertemu di Apuan, Tabanan, kampung halaman Wianta. Stephan bermukim di situ berbulan-bulan, menghirup suasana budaya dan lingkungan alam setempat. Dia memahami bahwa Bali identik dengan “menikmati”.
Begitu halnya Wianta. Dari pengalamannya tinggal di Brussel, Belgia (1975-1977) dia sudah memahami cara berpikir serta kesenian dan budaya orang barat. Dari pengalamannya tinggal dengan Stephan di Swiss, dia memahami bahwa barat adalah “mempertanyakan”. Stephan di Swiss dan Made Wianta di Bali saling mengisi.
Wianta kerap berdiskusi dengan Stephan terhadap beragam kegelisahan memandang Bali: bila barat adalah “mempertanyakan”, kini Wianta mempertanyakan Bali di dalam dialog dengan Stephan. Mereka selanjutnya menjadikan gagasan mereka aneka proyek berkesenian bersama.
Beberapa proyek yang telah mereka lakukan bersama di antaranya, bekerja bersama di studio Stephan di Rancate, Ticino, dan Basel Swiss, serta Crossing Lines yang telah dipamerkan baik di Bali (2001) maupun di Basel (2002), serta St. Petersburg dan Art Moscow Rusia (2005).
ini, Wianta sudah wafat, lebih dari dua tahun yang lalu, tetapi pertemuan mereka, pertemuan dan persilangan gagasan, kini dilanjutkan dalam suatu pameran bersama. Bukan pameran biasa, tetapi pameran dialogis antara suatu penggalian bersama, sebagai bentuk pertalian spirit yang tidak akan pernah berhenti walaupun Wianta telah tiada.
Pameran yang digelar Komaneka Art Gallery di Komaneka at Keramas Beach, Gianyar 24 Januari sampai 7 Februari 2023 ini mengusung tema “Between Chaos and Form”. Karya Wianta yang ditampilkan merupakan hasil proses kreatif di Rancate dan Basel Swiss serta di Bali. Begitu halnya karya-karya Stephan sebagian dibuat di Ticino, Basel, dan Bali. (BTN/bud)
Leave a Comment
Your email address will not be published. Required fields are marked with *