Sekitar 170-an desa wisata sedang digalakkan di Pulau Dewata. Namun, dari sisi kekuatan desa wisata yang ada itu perlu diuji daya tahannya. Sebab, banyak desa wisata dibangun dan dibentuk karena ingin mendapatkan bantuan dari pemerintah saja. “Desa wisata yang seperti itu kekuatannya sangat rendah, jika dibandingkan dengan pembuatan desa wisata dengan cara bergotong-royong dan partisipatif,” kata Ketua Himpunan Pramuwisata Indonesia (HPI) Bali, I Nyoman Nuarta, SH dalam acara Forum Group Discussion (FGD) Ideathon Bali Kembali 2021 yang digelar Fakultas Ekonomi, Bisnis dan Pariwisata Universitas Hindu Indonesia (UNHI) secara virtual, Dalam Jaringan (Daring), Selasa (5/10).
FGD sebagai upaya mempertajam hasil penelitian dari Fakultas Ekonomi, Bisnis dan Pariwisata UNHI dengan penelitian “Strategi Pengembangan Ekowisata berkelanjutan Keariaman Lokal Tri Hita Karana dengan SWOT Hybrid dan Forward Channing untuk membantu mempercepat pemulihan ekonomi dan pariwisata di Bali. Untuk itu, Ketua Tim Ketua Tim Peneliti, Dr. I Putu Putra Astawa, S.Kom.M.Kom bersama Dr. Dra. I Gusti Ayu Wimba, MM, dan Ida Bagus Purwa Sidemen, S.Ag.,M.Si. menghadirkan narasumber, seperti Kepala Dinas Pariwisata Provinsi Bali, Ir. I Putu Astawa, M.MA, para pakar pariwisata, seperti Dr. I Gusti Kade Sutawa, I Ketut Jaman, Yoga Iswara, Dewa Rucika, Ketut Kanten, Ayu Amrita Pradnyaswari, Manajer DTW Jatiluwih I Nengah Sutirtayasa dan lainnya.
Disaksikan para peneliti dan narasumber lainnya, Nuarta kemudian menjelaskan dari sisi kelemahan desa wisata yang memiliki corak dan bentuk yang sama atau hampir mirip, akan memiliki dasa saing yang rendah. “Agar desa wisata itu bisa berdaya saing seluruh ekosistem pendukung harus berkualitas, baik tempatnya yang bagus, dan memiliki Sumber Daya Manusia (SDM) yang profesional. Selain itu, masyarakat sekitar sebagai pendukung desa wisata itu mesti ramah dan welcome sama yang datang ke desa wisata tersebut,” paparnya.
Peraturan yang dibuat juga mendukung keberadaan desa wisata itu. Desa wisata yang dibangun itu, mesti membawa angin segar buat masyarakat local. Artinya, masyarakat bisa ikut menikmati keuntungan dari desa wisata itu, baik itu keuntungan material dan imatrialnya. “Semisal betul desa wisata tersebut membawa kesejahteraan masyarakat dan mampu menjaga keharmonisan alam dan lingkungan sekitar. Artinya tidak merusak lingkungan, maka itu menjadi desa wisata yang berdaya saing,” imbuhnya.
Justru akan menjadi sebuah ancaman, kalau desa wisata yang dibuat tidak mematuhi konsep konservasi lingkungan yang berladaskan Tri Hita Karana. Desa wisata yang tidak memiliki landasan Tri Hita Karana akan membawa ancaman, seperti masalah sampah, banjir, abrasi dan lainnya. “Sekali lagi, konsep model pembuatan desa wisata yang memiliki corak yang sama akan membawa ancaman karena sulit untuk berdaya saing. Bahkan, desa wisata tersebut cepat kolap atau tidak bisa berjalan secara baik,” pungkasnya. (BTN/bud)
Leave a Comment
Your email address will not be published. Required fields are marked with *