Widyatula (Seminar) “Widya Basa (Ekolinguistik) Toya” yang menghadirkan dua narasumber Putu Eka Guna Yasa, SS, M.Hum dosen Universitas Udayana (Unud) dan Dr. Ketut Paramarta, Dosen Undiksha Singaraja, serta dimoderatori oleh Dr. I Ntoman Suwija, M.Hum. lebih banyak mengulas tentang Bahasa, Aksara, dan Sastra Bali yang banyak memuat pesan pentingnya menjaga kelestarian air. Widyatula yang digelar melalui Zoom Meeting pada Senin (7/2) itu disambut masyarakat, sehingga Widyatula yang di mulai pukul 09.00 Wita hingga pukul 13.00 wita itu berlangsung hangat.
Guna Yasa yang membawakan makalah “Jala Wyakarana: Kosabasa Basa Bali Pinaka Pangendag Budi Cita Ngraksa Toya” memaparkan, kosakata dalam bahasa Bali, mulai dari aksara hingga wacana, sangat banyak yang berbicara mengenai air (toya, yeh, wa, tirta). Hal itu menegaskan, peradaban manusia Bali di masa lalu sangat erat dan dekat dengan keberadaan air. Berbagai pustaka lontar seperti Parama Tattwa Suksma, Tutur Aji Saraswati, dan Tutur Tirta Kamandalu memuat aksara yang menjadi simbol air. “Dari pustaka itu dapat diketahui, keberadaan aksara sebagai simbol air tersebut terbagi ke dalam bentuk aksara wreastra swalalita, bijaksara, dan modre,” ucapnya.
Geguritan Parama Tattwa Suksma menyebutkan, di dalam wreastra, aksara yang menjadi simbol air adalah suku kembung. Suku kembung jika dicari asal bangun aksaranya adalah Wa. Asal kata Wa itu di dalam Tantrayana disebut Jala Tattwa. Di dalam swalalita, aksara yang menyimbolkan air tiada lain aksara U kara. Simbol air dengan U Kara umum dipahami berkaitan dengan Tri Aksara yakni A sebagai simbol api (Bhatara Brahma), U sebagai simbol air (Bhatara Wisnu), dan Ma sebagai simbol angin (Bhatara Siwa). Sementara Geguritan Parama Tatwa Suksma dan Tutur Sang Hyang Aji Saraswati menyebutkan bahwa air disimbolkan dengan bijaksara Ah.
Leluhur Bali juga menyimbolkan air dengan bentuk aksara modre. Pustaka Tutur Tirta Kamandalu yang berisikan tentang keberadaan aksara modre yang melambangkan air, hujan, danau, laut, dan lainnya. Aksara-aksara modre tersebutlah sebagai sarana yang akan dipakai oleh orang yang ingin melakukan nerang (menghalau hujan). Akar kata yang berkaitan dengan air juga terdapat dalam berbagai kosakata bahasa Bali seperti warih, we, luwah, dan lainnya. Selain itu, karena asal kata yang berkaitan dengan air adalah Ah, maka kemudian terbentuk berbagai kata yang berarti atau berkaitan dengan air seperti yeh, apah, banyeh, kayeh, peceh, peluh, panyuh, baseh, enceh, kuah, loloh, maceceh, wangsuh, pasih, seduh, dan lainnya.
Sementara wacana tentang keutamaan air banyak ditemukan dalam karya sastra Bali dan Kawi di antaranya pustaka berjudul Mosala Parwa, Rogha Sanghara Gumi, Geguritan Tirta Yatra milik Puri Agung Denpasar-Bangli, Geguritan Bali Tattwa yang menceritakan perjalanan Ida Resi Markandeya di Bali, dan lainnya. Geguritan Tirta Yatra, berbicara beragam tempat tirta yatra, tentu tujuannya untuk menghilangkan kekotoran dan mala di badan secara sakala-niskala. “Itu berarti bahwa sungai dan tempat petirtan yang hening adalah lanskap estetik yang sepatutnya selalu dirawat. Namun kenyataannya sekarang, banyak sungai yang tercemar, bangunan beton berdiri, sehingga mengurangi keindahan lanskap estetik tersebut,” katanya.
Sementara itu, Ketut Paramarta dalam seminar ini menyajikan materi berjudul “Krakah (etimologi) Basa Toya: Teges miwah Suksmanyane Makapakerti Ngardi Jagadita” mengungkapkan, air sangat erat dengan perkembangan kebudayaan manusia. Keberadaan air tidak tergantikan dalam kebudayaan dan lingkungan. Berkaitan tema Bulan Bahasa Bali tahun ini, dia menjelaskan, UNESCO dalam peringatan Hari Bahasa Ibu Internasional pada tahun 2019 lalu juga mengambil tema tentang air, yang diangkat dari peribahasa Cina, “When you drink water, think of the source ~ Saat Anda minum air, pikirkan sumbernya,” ucapnya. (BTN/bud)
Leave a Comment
Your email address will not be published. Required fields are marked with *