Sanggar Gita Bandana Praja Duta Kota Denpasar tampil heboh di Kalangan Ayodya, Taman Budaya Provinsi Bali (Art Center) bertepatan dengan Hari Raya Kuningan, Sabtu (18/6) malam. Sanggar ini, tak hany menampilkan drama gong biasa, melainkan dipadu dengan penyalonarangan. Maka itu, Kalangan Ayodya diwarnai aksi pengundangan, watangan, ngunying, dan juga kerauhan. Pementasan Drama Gong Tradisi Penyalonarangan dalam ajang Pesta Kesenian Bali (PKB) ke-44 berlangsung selama empat jam.
Menariknya, walau pertunjukan drama itu sudah selesai, tetapi masyarakat masih setia menonton hingga akhir menunjukkan sekitar pukul 23.15 Wita. Pada awalnya, pertunjukan layaknya drama gong seperti umumnya. “Kamisebagai wakil dari Kota Denpasar mengkemas sajian yang unik sebagai bentuk kreativitas, yakni sajian drama gong dengan memasukkan unsur penyalonarangan,” kata Koordinator yang juga Ketua Sangar Gita Bandana Praja, I Nyoman Gede Jasa.
Drama ini mengangkat cerita “Baruna Murti” yang mengambil penokohan di kawasan Batur dan Toh Langkir. “Jadi dalam lakon Baruna Murti ini sarat dengan pesan agar masyarakat jangan abai terhadap lingkungan. Terutama membuang sampah sembarangan. Kalau sampah dibuang di kali itu muaranya kan tetap ke laut. Sehingga laut marah dan akhirnya terciptalah wabah penyakit dan gering agung,” jelasnya.
Cerita ditampilkan kurang lebih selama tiga jam oleh para pemain. Namun, menginjak pukul 22.00 Wita, dua watangan tiba-tiba dihadirkan di area pementasan. Dua watangan diiringi dengan tetabuhan ini awalnya diarak dari pintu masuk Art Center, berjalan mengitari kawasan taman budaya tersebut hingga sampai di Kalangan Ayodya. Suasana penonton pun menjadi tegang karena ada aksi nguying dan kerauhan. Namun demikian, tak sedikit pula penonton yang justru antusias dalam menyimak.
Nyoman Jasa mengakui, memadukan kesenian drama gong dengan penyalonarangan memang memiliki kesulitan tersendiri. Pentas ini melibatkan lebih dari 100 seniman dan puluhan pemangku. “Terutama di bagian tabuh. Bagaimana pengemasan tabuh antara drama gong dengan penyalonarangan ini agar bisa nyambung. Secara tingkat kesulitan, mungkin para pembina garapan yang lebih paham,” ungkapnya.
Selain bersifat sebagai hiburan, kata Nyoman Jasa, pementasan ini juga bermakna untuk mendoakan alam semesta. Dalam pertunjukan tersebut digelar pula ritual pecaruan atau pemahayu jagat yang dipuput langsung oleh seorang sulinggih didampingi puluhan pemangku Kahyangan Tiga seluruh Denpasar. “Kami pentas juga sekaligus mendoakan Kota Denpasar yang dalam hal ini kita pusatkan di Art Center ini agar alam rahayu dari bencana, gering, sasab merana, dan lainnya. Kami gelar pecaruan lengkap dengan bantennya yang dipuput oleh Ida Rsi,” pungkasnya.
Drama ini mengisahkan, masyarakat di tepian Danau Batur yang sebagian besar masyarakatnya sangat senang dan bangga atas keberhasilan mereka dalam bercocok tanam. Semuanya hidup dan tumbuh dengan subur, mulai dari berbagai macam tanaman bunga, sayur-sayuran, buah-buahan serta tanaman lainnya. Masyarakat di sana sangat menjunjung tinggi kebesaran beliau Hyang Dewi Danu.
Tak jauh berbeda dengan kondisi di daerah Tohlangkir. Jika di tepian Danau Batur adalah kisah masyarakat dengan berbagai macam tumbuh-tumbuhan, sedangkan di Toh Langkir dikisahkan masyarakat dengan segala macam binatang yang dipelihara dengan sangat baik, bahkan sangat jarang ada yang cepat mati ataupun sakit, dan semuanya tumbuh besar dengan cepat dan sehat. Ini pun tidak terlepas dari Rahmat atau Waranugraha beliau yaitu Hyang Putranjaya.
Tetapi ada salah satu juragan yang bernama Juragan Bretong bersama anaknya yang sangat angkuh dengan keberhasilannya di bidang memelihara segala macam binatang. Hingga diperintahkanlah anak buahnya untuk menggembalakan peliharaannya sampai ke tepian Danau Batur. Akhirnya, hal yang tak diinginkan terjadi. Semua tanaman disana hancur lebur dirusak oleh binatang peliharaan juragan Bretong.
Masyarakat di sana pun menjadi sangat marah. Men Bekung, Pan Bekung bersama masyarakat lainnya di tepian Danau Batu akhirnya membunuh semua binatang tersebut dan dibuang begitu saja ke danau dan ke kali terdekat yang ada di sana. Pada akhirnya semua sampah bangkai dan kotoran tersebut bermuara ke laut, sehingga membuat Hyang Baruna sangat marah. Hyang Baruna mengutuk sampah dan semua bangkai tersebut menjadi Sasab Merana.
Akhirnya terjadilah wabah yang disebut dengan Gering Agung, terutama di tepian danau Batur dan di Tohlangkir. Sehingga masyarakat Tohlangkir dan masyarakat di tepian danau Batur menjadi bersengketa dan saling tuduh masalah Sasab Merana. Karena mereka terus menerus saling tuduh dan bertengkar, maka turunlah Hyang Pasupati untuk melerainya serta menyarankan agar Hyang Putranjaya dan Dewi Danu untuk mengajak masyarakatnya menghadap kepada Hyang Baruna. Dengan tujuan untuk memohon maaf dan meminta tuntunan. (BTN/bud)
Leave a Comment
Your email address will not be published. Required fields are marked with *