Dua Pertapa Diuji dalam “Bubuksah Gagangaking”, Garapan Sanggar Maha Bajra Sandhi

Dua Pertapa Diuji dalam “Bubuksah Gagangaking”, Garapan Sanggar Maha Bajra Sandhi

Sanggar Maha Bajra Sandhi (MBS) menyajikan sesolahan (pergelaran) seni sastra berjudul “Bubuksah Gagangaking” dalam ajang Bulan Bahasa Bali 2021. Pergelaran berdurasi 45 menit ini ditayangkan melalui YouTube Dinas Kebudayaan Provinsi Bali pada Kamis, 25 Pebruari 2021. Garapan seni yang didukung 25 orang anak-anak MBS itu konsep besarnya oleh Ida Wayan Oka Granoka didampingi oleh Byang Supraba serta disutradarai oleh Cok Sawitri dan Dayu Ani. Sebagai pengarap yang menterjemahkan konsep yaitu Dayu Ani, Dayu Ade, Dayu Mang, Dayu Gek dan Gus Torang.

Abstraksi-abstraksi pergelaran Maha Bajra Sandhi yang penuh dengan makna simbolis, dapat menuntun para penonton untuk mampu melaksanakan tugas-tugas yang mulia didasari dengan nilai kepribadian “lastyaga” (iklas) dan bersiap tantangan didepan sudah menunggu. Hal itu perlu sebuah keyakinan untuk menguatkan diri pada imun pemikiran yang integral.

Garapan seni ini, menyampaikan pesan, hutan adalah tempat menggelar tapa brata. Cerita yang diangkat bersumber dari sastra sinkretis siwa-budha. yang mengisahkan, dua orang bersaudara bernama Gagangaking (sang kakak) dan Bubuksah (adiknya), berniat melakukan tapa brata. Karena perbedaan pendapat, kedua bersaudara tersebut akhirnya terlibat dalam perdebatan. Menyaksikan perdebatan tersebut, Batara Guru menjadi prihatin. Maka, diutuslah Dewa Kalawijaya untuk menguji keteguhan hati kedua pertapa tersebut. Dalam wujud harimau yang kelaparan.

Salah satu penggarap, Gus Torang mengatakan, kali ini Maha Bajra Sandhi menampilkan sebuah pergelaran dengan genre baru “gelar episteme” (seni-sains-fondasional). Sajian ini memiliki keunikan karena menyiratkan kesemestaan ruang konsepsi Ida Wayan Oka Granoka. “Sangat menarik dan dibuat terjun menerka untuk menemukan maknanya. Seluruh substansi pemikiran dan pagelarannya sangat bertalian dengan program besarnya Maha Bajra Sandhi, dalam perayaan siklus besar abad 21, 7 Abad Bhinneka Tunggal Ika,” katanya.

Sesuai dengan tersebut, maka mengangkat cerita sumber sastra sinkretis siwa-budha “Bubuksah Gagangaking”. Walau demikian, Ida Wayan Oka Granoka tidak hanya terhenti pada teks-teks tersebut, melainkan mengelaborasi teks-teks yang bersumber dari puja weda, dan sutasoma. “Disitu Ada landasan dasar filosofi yang sangat sublim pada pergelarannya,” ungkap seniman muda sering didapuk sebagai duta seni keluar daerah dan luar negeri ini serius.

Alumnus Kajian Budaya Pascasarjana Unud ini melanjutkan, dari elaborasi karya-karya sastra tersebut, maka bentuk penyajiannya menampilkan Sang Macan Angareng utusan dari surga turun untuk menguji sang dua petapa bersaudara, yakni Bubuksah dan Gagangaking. Kedua pertama itu diabstraksikan dengan gerak tari legong. “Kami menambah lantunan kidung-kidung, gerak tari yang dinamis dan “tetabuhan” gamelan merupakan konsep kesatuan utuh dalam beryoga pada pegelarannya “Megamel ida mayoge, masolah ida mayoga”,” paparnya.

Meski dirundung situasi pandemi tidak menghentikan kiat-kiat dalam menyikapi fenomena dunia. Untuk menyikapi hal itu, secara kontekstual Maha Bajra Sandhi memberikan solusi-solusi dalam bentuk “caru” sesaji kontemplasi pada jalan pengetahuan kesatuan integral. Karena itu, menghadirkan sosok Durga dengan keangkerannya, namun juga lemah lembut gemulai, sang pelebur dalam diri, pemusnah gering ketika diterpa pandemi,” ujarnya. (BTN/bud)

Posts Carousel

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked with *

Latest Posts

Top Authors

Most Commented

Featured Videos

Need Help? Chat with us