Daya Tarik Wisata (DTW) Jatiluwih dikelola dengan manajeman berbasis masyarakat. Itu memang kemauan dari masyarakat setempat. Badan pengelola itu ada lima pihak, yaitu Pemerintah Daerah (Pemda) Tabanan, Desa Dinas Jatiluwih, Desa Adat Jatiluwih, Desa Adat Gunung Sari dan Subak Jatiluwih. “Apa yang kita lakukan berdasarkan apa yang mereka mau. Pariwisata berkelanjutan di Desa Jatiluwih harus didukung masyarakatnya,” kata Manajer Operasional, I Nengah Sutirtayasa, SE. saat menjadi narasumber Focus Group Discussion (FGD) Ideathon Bali Kembali 2021 digelar Fakultas Ekonomi, Bisnis dan Pariwisata Universitas Hindu Indonesia (UNHI) secara virtual beberapa waktu lalu.
Hal tersebut dipaparkan Sutirtayasa, setelah para narasumber memberikan tanggapan dan masukan terhadap pengelolaan DTW Jatiluwih sebagai upaya untuk melengkapi hasil penelitian “Strategi Pengembangan Ekowisata Berkelanjutan Kearipan Lokal Tri Hita Karana dengan SWOT Hybrid dan Forward Channing untuk Membantu Mempercepat Pemulihan Ekonomi dan Pariwisata di Bali”. Penelitian itu dilakukan oleh Dr. I Putu Putra Astawa, S.Kom.M.Kom bersama Dr. Dra. I Gusti Ayu Wimba, MM, dan Ida Bagus Purwa Sidemen, S.Ag.,M.Si. dan dihadiri narasumber yang ahli dalam bidang pariwisata.
Sutirtayasa mengatakan, untuk menjadikan Jatiluwih sebagai destinasi berkelanjutkan, harus melibatkan masyarakat yang berbasis pertanian itu. Peran mereka akan menentukan nasib pariwisata Jatiluwih kedepannya. Karena itu, ada fit back untuk subak dan masyarakat Desa Jatiluwih. Mereka mendapatkan bonus setiap akhir bulannya. Jika Pemda mendapatkan retribusi pajak, maka Desa Jatiluwih dibantu percepatan jalan desa, Adat Jatiluwih dan Gunung Sari didukung keberlanjutan budaya dengan berbagai kegiatan seni dan budaya, sehingga masyarakat adat tidak lagi mengeluarkan iyuran untuk membangun, piodalan dan kegiatan budaya lainnya.
Sementara untuk Subak Jatiluwih segala kegiatannya melalui konsep Tri Hita Karana (THK) yang sudah dijalankan sejak turun temurun. Dalam menjalankan profesinya sebagai petani, mengolah lahannya hingga menghasilkan, mereka juga membutuhkan biaya. Makanya, para petani diberikan bibit gratis, pupuk gratis, termasuk juga biaya sakit dan kematian untuk ditanggung manajeman melalui adat sebanyak, 948 Kepala Keluarga yang terdiri dari 527 KK petani basah dan sisanya petani kering. “Pengelolaan DTW Jatiluwih ini bukan untuk menguntungkan perseorangan atau kelompok, tetapi dikembalikan lagi ke daya dukung objeknya. Sementara kami manajeman dihitung prosentase untuk manajeman operiasonal, promosi, pengembangan dan aktivitas TPS 3R,” ujarnya.
Evaluasi dari seluruh kegiatan dilakukan dalam rapat adat akhir tahun. Masyarakat akan memberikan masukan yang wajib diterima oleh manajemen untuk dijalankan kedepan. Namun, di masa pandemi ini, kunjungan wisatawan sepi, sehingga tidak ada pemasukan. “Kami sudah katakan dari awal pandemi. Pariwisata ini sebagai bonus bukan menjadi pekerjaan pokok. Pokok pekerjaan kita adalah bertani. Lalu, adanya majanejam mensuport kegiaan mereka, sehingga ada pemasukan. Hasilnya, diolah untuk dijadikan koperasi subak, sehingga tetap berbasais masayarakat,” paparnya. (BTN/bud)
Saat ini manajeman yang menjalankan operasional DTW ada 76 staf dan pegawai termasuk dirinya sendiri. Para staaf dan pegawai itu murni perwakilan dari lima pihak tersebut. “Rusaknya kawasan wisata itu memang pembangunan akomodasi yang memiliki andil terbanyak. Saat ini, akomodasi yang ada itu 90 persen milik masyarakat Jatiluwih, 5 persen milik warga yang sudah lama ada di Jatiluwih dan sisanya itu yang lolos. Kedepan, agar kami bisa bertahan, maka Jatiluwih akan mengerim investoir, karena menstop rasanya tak mudah,” bebernya.
Menyinggung soal subak, Sutirtayasa menyebutkan, Subak Jatiluwih menerapkan konsep THK dan masih menerapkan budaya pertanian tempo dulu. Sebut saja, beras merah Jatiluwih itu ada kaitannya dengan budaya adat setempat, sehingga tetap lestari hingga saat ini. Padahal, kalau hitung-hitungan untuk profit menanam padi padi tahun, januari-juni, jelas rugi. Sepat diberikan bantuan varietas baru, namun warga subak menaolaknya. Subak Jatiluwih mempertahankan tradisi. “Kami masih menjalani ritual itu,” ujarnya.
Selain menjual panorama sawah, Jatiluwih juga menawarkan aktivitas persubakan yang sudah diwarisi sejak dulu, seperti ngusaba, membajak sawah, manyi dan lainnya. Saat ini, generasi petani sangat sedikit, sehingga pihak manajeman merekrut anak-anak petani yang bertugas dimanajeman. “Kami berharap, mereka bisa melihat aktivitas subak untuk kemudian menjaga keberlangsung subak di Jatiluwih,” imbuhnya.
Dirinya mencoba meregenerasi untuk kembali bekerja di rumah dan merawat orang tua menjaga perekomian di pertanian. Jatiluwuh memiliki sector pertanian sepanjang masa dan memiliki potensi pengembangan hasil pertanian organic. “Kami patut syukuri karena alam Jatiluwih bagus untuk peratnian. Ini sebagai penghasil bahan pokok manusia. Pariwisata itu menjadi bonusnya subak. Kalau pertanian saja, tak bisa menghasilkan sebesar bekerja di iuar. Tetapi, pariwisata bisa membantu masyarakat Jatiluwih,” tutup Sutirtayasa. (BTN/bud)
Leave a Comment
Your email address will not be published. Required fields are marked with *