Ibu-ibu “Nyatua” Bagai Pentas Teater

Ibu-ibu “Nyatua” Bagai Pentas Teater

Bagai seorang pemain teater. Ibu-ibu ini tak hanya lihai dalam memaparkan kisah, tetapi juga piawai berakting. Suaranya lugas dan tegas, terakang kecil, terkadang pula besar sesuai dengan karakter tokoh yang diceritakan. Ia bergerak, seolah-solah ia sendiri sebagai tokoh yang dikisahkan itu. Matembang (menyanyi) dan menari menjadi ungkapan ekspresi, sehingga tak hanya menegaskan cerita yang disajikan, tetapi juga membuat penampilannya semakin menarik. Pagung seakan miliknya, bahasa, vokal dan ekspresi bertutur terkesdan sangat “lengut” (tepat).

Itulah penampilan ibu-ibu perwakilan dari PKK (karma Istri) dalam Wimbakara (lomba) Nyatua Bali, serangkaian Bulan Bahasa Bali, di Wantilan Taman Budaya Denpasar, Jumat (19/2). Walau, lomba dilaksanakan dengan penerapan protokol kesehatan (prokes) ketat, namun tetap seru. Para peserta yang tampil masing-masing duta membawakan dongeng dengan durasi waktu 10-15 menit. Pilihan Nyatua Bali bebas, dengan mengambil cerita rakyat yang populer di masyarakat diantaranya, I Litung dan I Kekua, I Tiwas dan I Sugih dan sebagainya.

Setelah ibu-ibu tampil secara total, dewan juri kemudian memutuskan Ni Ketut Adi Maharani duta Kabupaten Jembrana sebagai Juara I, Ida A W Sugiantari duta Kabupaten Karangasem Juara II dan Ni Made Martini dari Kota Denpasar meraih Juara III. Tim Juri yang menilai adalah Dr. Drs. Ida Bagus Rai Putra, M.Hum., Dosen Universitas Udayana, I Gede Tarmada, Praktisi Bahasa, Aksara, dan Sastra Bali dan Ni Komang Ari Pebriyani, S.S., S.Pd., M.Pd., Guru SMA Dwijendra.

Ida Bagus Rai Putra mengatakan, kunci keberhasilan mendongeng adalah penguasaan materi cerita yang baik. ” Kelemahan sedikit dalam lomba kali ini sedikit tegang, kalau Nyatua itu harua menguasai isi, narasi, temanya, bagaimana bisa menokohkan dengan baik, mengetahui kharakter yang diceritakan. Kemudian alur cerita harus dipahami, peristiwanya didalami dengan baik, memang semuanya itu harus dieprsiapkan lewat latihan yang bagus” jelasnya.

Orang bercerita tentang hewan misalnya tokohnya harus dipahami, suara macan bagaimana, suara burung seperti apa, kharakter itu yang membuat dongeng itu tersaji dengan bagus dan hidup. ” Kalau suara macan jangan seperti suara kucing, kalau suara burung yaa nyaring, harus menjiwai sehingga audien bisa merasakan ada di dalam cerita itu,” ucapnya.

Persiapan peserta lomba harus dimatangkan, latihan yang cukup. “Mungkin saja karena masa pandemi, jadi wakil kabupaten kota waktunya yang terbatas, jadi kita maklum, ada beberapa penampilanya sedikit menurun, tidak semua ada juga yang bagus, kalau kedepanya sebaiknya bagi duta yang tampil ke Tingkat Provinsi diseleksi lewat lomba di masing-masing daerah, mana yang terbaik baru dikirim, jujur saja kalau tahun lalu pesertanya bagus-bagus karena lebih siap,” ujarnya.

Dosen Unud ini lebih lanjut menambahkan yang terpenting juga dalam nyatua keutuhan cerita dan pesan yang ingin disampaikan juga jelas. “Kalau berbicara wana atau hutan, sesuai tema Wana Kertih, apa manfaat hutan upaya yang perlu dilakukan sehingga memberi pesan tersendiri kepada yang mendengarkan, kemudian anggah ungguhing basa, kalengutan basa bobotnya sangat tinggi, harus diperhatikan dengan baik,” saranya.

Pelaksana Teknis Bulan Bahasa Bali Made Mahesa Yuma Putra menuturkan, peserta Nyatua Bali adalah perwakilan krama istri (Ibu -ibu PKK) dari seluruh kabupaten kota. ” Antusias nyatua Bali luar biasa, seluruh kabupaten kota mengirimkan perwakilanya, ” jelas Mahesa.

Pihaknya menambahkan, materi lomba bagi peserta wajib memilih satua -satua yang masih eksis di masyarakat. Dan dalam satua yang dibawakan, peserta mampu menyajikan materi satua dengan baik terutama sesuai dengan tema yaitu melestarikan alam. ” Dongeng yang disajikam diusahakan membuat pesan- pesan untuk kelestarian hutan,” tegasnya. (BTN/bud)

Posts Carousel

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked with *

Latest Posts

Top Authors

Most Commented

Featured Videos

Need Help? Chat with us