Huru-hara yang dilakukan oleh Manu membuat Kerajaan Taru porak poranda. Aksinya oitu dilakukan karana Manu ingin mendapatkan Tila Kencana yang tiada lain adalah bibit emas. Manu tidak menyadari, kalau Tila Kencana itu bukanlan merupakan bibit emas yang membuatnya menjadi kaya, tetapi bibit yang harus ditanam untuk menjaga keseimbangan dan harmonisasi kehidupan bumi. Ratu Taru kemudian memberikan penjelasan kepada Manu atas kekeliruan perbuatannya dan meminta Manu merenungi perbuatannya itu.
Itulah kisah fiksi yang disajikan Komunitas Usadi Langu Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar pada Adilangi (Pergelaran) serangkaian Festival Seni Bali Jani (FSBJ) III di Gedung Natya Mandala ISI Denpasar, Selasa (2/11). Kisah ini disampaikan melalui abstraksi musikal, gerak, vokal, dan visual yang satu sama lainnya sama-sama menonjol, saling mengisi dan melengkapi dan yang pasti tidak ada yang paling dominan. Karya ini menyampaikan pesan bahwa hutan penting dirawat keberadaannya guna menjaga keseimbangan dan keharmonisan kehidupan di bumi.
Koordinator, Dr. I Komang Sudirga, S.Sn.,M.Hum mengatakan, seni pertunjukan ini mengangkat judul “Tila Kencana” yang memiliki makna tentang bibit emas. Garapan ini menghadirkan konsep lintas Program Study (Prodi) yaitu musik, tari, karawitan, Pendidikan Seni Pertunjukan (PSP), Pedalangan, dan film. Komunitas Usadi Lango ini sengaja membentuk sumber daya yang terdiri dari bidang ilmu dengan tema lingkungan. “Hal itu sesuai dengan tema, yakni Wana Kerthi yang kemudian direspon dengan mengaktualisasikan dengan suasana kekinian tentang kerusakan lingkungan,” ucapnya.
Garapan ini dengan berbagai narasi yang menceritakan fenomena lingkungan di perkotaan yang sudah banyak dibangaun gedung-gedung menjulang tinggi. Melalui garapan ini, para seniman muda kreatif ini ingin mengirim pesan kepada masyarakat untuk ikut menjaga lingkungan. “Mari kita hormati alam dan berharmoni dengan alam. Jangan mengikuti alam pikiran kita untuk terus diperbudak dalam diri, hasrat yang ingin selalu menguasai alam,” ajak Komang Sudirga yang juga Wakil Rektor Bidang Perencanaan dan Kerjasama ISI Denpasar.
Adilango yang didukung sebanyak 85 orang yang terdiri dari penyaji diatas stage dan di luar panggung. Kali ini mencoba menampilkan konsep garapan modern yang tak dipandang sebelah mata. “Kami mencoba menyajikan garapan yang harmonis tidak menonjolakn tari, music, atau lainnya. Kami merespon harmoni diri, maka kami ingin menyajikan garapan yang harmoni yang betul-betul menjadi satu kesatuan dari elemn-elemn yang ada. Kami menata dengan seapik mungkin,” sebutnya.
Composer Wayan Sudirana mengatakan, Tila Kencana ini merupakan garapan yang mengakomodasi ke semua prodi itu dengan naskah tentang bibit emas itu. Ide garapan ini, kalau berbuat baik kepada bibit, maka bibit itu akan tumbuh menjadi baik. Begitu sebalikanya. Dari makna itu, Sudirana dan yang didampingi Koreografer Dayu Ani serta dari filom kemudian disajikan ke dalam garapan abstrak. “Artinya, kami tidak menampilkan cerita, tetapi abstraksi dari cerita bibit itu menjadi sebuah kolaborasi menjadi tari, music, vocal, karawitan, pedalangan, film dan sedikit ada teater,” paparnya.
Garapan Tila Kencana dapat dibagi menjadi beberapa bagian. Pada bagian pertama monolog dari Prodi Pedalangan yang dimainkan oleh Gusti Sudarta dengan menampilkan seni tradisi dengan teater vocal, tembang, dan dialog yang disajikan tidak seperti tetapi biasanya. Artinya, semua itu disajikan secara baru, modern lalu disepon dengan music kontra bass. Jika perpaduan itu biasanya memakai siling, namun kali ini direspon dengan kontra bass.
Bagian kedua menampilkann kemajuan teknologi dengan bangunan yang sangat maju. Hal itu ditayangkan dalam layar lalu direspon dengan music elektronik. Ada pula lagu dengan adegan pohon, lalu muncul bibit. Pada bagian ini lalu, muncul manusia-menusia serakah yang tak memiliki rasa. Manusia itu, seperti robot yang menghacurkan bibit itu. Manusia robot ini mengungkapkan keserakahannya itu melalui gerak tari kontemporers yang sangat kuat.
Setelah bibit itu akan dihancurkan dan diintimidasi, kemudian muncul sosok ibu penyanyi opera sebagai symbol dewi yang memberikan support kepada bibit agar mau tumbuh lagi. Penampilannya bukan dalam bentuk tari, tetapi dalam bentuk lagu seriosa. Setelah support, lalu disambut dengan abstraksi orchestra semesta yang didalamnya ada gamelan, solo instrument, gamelan, drum, dan lainnya. “Itu sebagai simbol kemunculan kembali semangat bibit itu untuk bisa hidup. (BTN/bud)
Leave a Comment
Your email address will not be published. Required fields are marked with *