Ogoh-ogoh Pariwisata Bali adalah pariwisata budaya. Karena itu budaya meski hidup dan tumbuh kuat di tengah menggeliatnya pariwisata. Untuk mendukung hal tersebut, Jimbaran Puti A Belmond Hotel memajang karya seni ogoh-ogoh menjeleng Hari Raya Nyepi, tahun Baru Saka 1945. Ogoh-ogoh yang dipajang merupakan karya seniman, Putu Marmar Herayukti yang bakal dihelat semaka seminggu. Disamping ogoh-ogoh, ada pula beberapa history yang merupakan cerita-cerita dari sastra, tatwa, kakawin dan lainnya.
Head & Seal Jimbaran Puri A Belmond Hotel, Yudi Hidayah mengatakan, pameran ogoh-ogoh ini merupakan ajang saling menguntungkan. Itu, karena Jimbaran Puri A Belmond selalu berkomitmen untuk tidak hanya mengundang turis untuk tinggal di hotel, tetapi juga pelaku budaya. “Kami sangat sadar, yang membuat Bali menarik, kan bukan pantai, karena di tempat banyak yang bagus. Hotel juga sederhana, tetapi Bali menarik karena seni budayanya juga orang- orangnya,” ucapnya, Kamis (16/3).
Semua tamu yang datang ke hotel ini, mereka rata rata melihat pantai, sunset dan lainnya, tetapi mereka yang membuat mereka terpesona adalah pelayanan dari para karyawan. “Wisatawan itu, dengan polos bertanya, kok bisa karyawan anda membuat kita betah. “Itu karena orang Bali menghormati turis yang menyebutnya kata tamu. Ini sebutan cara mereka menghomatui para turis yang menikmati Bali dan tinggal di daerahnya sendiri. Nah, inilah kesempatan Belmond memeperkenalkan Bali melalui ogoh-ogoh.
Seni ogoh-ogoh memang menjadi pilihannya, karena terkait dengan hari raya Nyepi. Kalau dunia mempunyai satu jam untuk bumi, maka Bali sudah mulai dari beberapa tahun lalu. Waktunya juga cukup lama, yakni seharian penuh. Pada saat Nyepi, masyarakat Bali, tak hanya menutup pulau, tetapi melakukan meditasi, merepleksi diri, menjaga alam dan memberikan alam untuk bernafas. “Marmar adalah sosok yang pas, terutama dari cara pemilihan bahan sustainable yang sesuai dengan salah satu filosofi hotel kita,” imbuhnya.
Ogoh-ogoh yang dipajang di A Belmond berjudul Paksi Ireng, sebuah karakter yang dibuat sendiri pada 2018. Paksi Ireng menceritakan tentang alam. Bagaimana alam itu bersikap dengan manusia, dan bagaimana manusia bersikap dengan alam. Alam sesungguhnya sangat adil, ada yang dipersembahkan kepada alam, maka alam memberikan hal yang sama. “Itu yang disebut koneksi. Dalam ogoh-ogoh Paksi Ireng ini, kalau dilihat wajahnya seram ditangnnya ada satu pisau yang disebut pisau pengentas, pisau pemutus antara kehidupan dan kematian,” terang Marmar.
Dibalik wajah serem dan pisau pengentas itu, dibelakangnya ada tangan-tangan mudra sebagai symbol sebuah energy yang baik. itu artinya, ketika memberikan sesuatu positif kepada alam, maka alampun merespon dengan positif. Walaupun, tangan-tangan mudra itu terlihat di belakang, namun alam akan memberikan yang terbaik kepada manusia yang memperlakukan alam secara baik. “Jujur, tidak semua orang itu memandang alam itu dari manfaatnya,” imbuhnya.
Selain ogoh-ogoh, Marmar juga menampilkan beberapa history yang dibuatnya. Histori-histori itu besiknya adalah cerita-cerita dari sastra, tatwa, kakawin dan lainnya. Cerita local yang benar-benar kuat untuk bisa mengenal siapan kita sebenanya. “Saya tampilkan seperti itu, menulis dan membentuk karakter yang baru, sehingga prinsip-prinsip ini bisa mengalir dengan keadaan jaman sekarang. Saya menghadirkan karya ini agar menjadi prinsip hidup yang dapat digunakan terutana di Bali ini, agar bisa diterima oleh anak muda. Anak muda itu, jarang mau mempelajari tentang sastra, kebudayaan local yang lebih mendalam,” tutupnya. (BTN/bud)
Leave a Comment
Your email address will not be published. Required fields are marked with *