Jineng sebagai salah satu bangunan tradisional Bali memiliki arti penting dalam kebudayaan agraris masyarakatnya. Namun, ketika transformasi budaya bergulir dari budaya pertanian berbgeser ke budaya industry modern, jineng sebagai tempat menyimpan padi itu tergerus keberadaannya. Itu salah satu alasan Dinas Kebudayaan dan Museum Subak menggelar Seminar Kajian Koleksi “Jineng” di Museum Subak, Jumat (27/11). “Koleksi yang ada di Museum Subak satu demi satu memang kami kaji,” kata Kepala Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) Museum Subak Ida Ayu Pawitrani, usai seminar tersebut.
Hasil kajian “Jineng” yang dilakukan di Desa Wangaya Gede beberapa waktu lalu, kali ini diseminarkan dengan menghadirkan narasumber, seperti Kadek Suartaya dengan topik Jineng Langgeng di Tengah Transpormasi Budaya, I Gusti Bagus Putu Bawa Samar Gantang (Dari Sudut Pandang Mithe. Legenda, Mistik, Religius), Ida Bagus Nyoman Astawa (Kanista Budaya Ritual Tak Tertinggal Jineng Dengan Upacara Kanista), dan I Made Wardana (Jineng sebagai Ikon Kabupaten Tabanan. “Kami akan selalu mengkaji isi museum ini, untuk memperkenalkan kepada masyarakat,” ucapnya.
Pada tahun sebelumnya, Museum Subak sudah mengkaji “tika”, sebuah pedoman dalam melakukan aktivitas bertani. Setelah itu mengkaji “kepuakan” alat dari bambu berfungsi untuk menghalau burung, selanjutnya okokan sebuah alat music tradisional sebagai ungkapan kegembiraan para petani. “Saat sekarang ini, kami mengkaji ketungan. Pada saat panen, para petani menggunakan ketungan untuk menumbuki padi menjadi beras. Semua itu ada kaitanya, dan sekarang ini mengkaji jineng. Semua itu ada keterkaitannya, seperti alur aktivitas petani di Tabanan,” paparnya.
Kadek Suartaya dalam pemaparannya menyajikan video pariwisata dan jineng. Dalam dunia pariwisata saat ini, Jineng mengalami transformasi yang dijadikan tempat tinggal bagi wisatawan. Namun, dalam penjelasannya nilai-nilia budaya jangan mengikuti pariwisata, tetapi pariwisatalah yang mengikutui budaya. Melihat tayangan video tadi, itu artinya industri pariwisata memang memanfaatkan nilai-nilai budaya Bali untuk kepentingan bisnis industri pariwisata. Jineng karena eksotis dan unik bentuk dan natural bahannya, sehingga menarik bagi orang asing yang berwisata.
Jineng dipinjam dan dimodifikasi bentuknya. Sehingga menjadi tempat tinggal yang sangat mewah. Falitas jineng dilengkapi dengan fasilitas hotel, sebagai persyaratan yang exclusive dan mewah. Alasan modifikasi itu dengan pertimbangan ekonomis. “Saya sangat setuju, budaya jangan mengikuti pariwisata, tetapi pariwisata yang mengikuti budaya kita, termasuk pertanian. Nyatanya, lahan petani, sawah berubah menjadi banguman beton modern di areal pertanian,” imbuhnya.
Made Wardana mengingatkan kepada masyarakat dan pemegang kebijakan, agar keberadaan jineng, klumpu, kelingking, dan gelebeg tetap lestari. Sementara Astawa menekankan pada tradisi ritual yang ada di subak hingga proses ritual pada jineng. Salah satu upacara itu adalah kanista sebuah budaya ritual yang masih lestari hingga kini. Sedangkan, Samar Gantang menyoroti banyak ada jineng yang hanya sebagai pajangan saja. Tidak ada isinya, bahakn tidak melakukan upacara pada setiap hari suci Somaribek. (BTN/bud)
Leave a Comment
Your email address will not be published. Required fields are marked with *