Seniman remaja ini begitu pasih dalam matembang, menari, juga berdialog. Suaranya jelas, tegas dan “lengut”. Tembang yang dinyanyikan seakan tidak ada yang falls, sehingga enak didengar dan membuat semakin betah mendengarnya. Gerak tari para pendukung begitu luwes, penuh ekspresi dengan karakter yang kuat. Pakem-pakem tari pengarjan, masih tampak jelas mulai dari gerak tari, pedum karang, tembang-tembang atau iringannyanya. Pesan disampaikan melalui tembang-tembang, lalu dikupas dengan bahasa Bali lumrah dengan vocalnya sangat jelas, sehingga sampai ke penonton.
Itulah suasana Utsawa (Parade) Arja Klasik yang disajikan Sanggar Citta Usadhi, Banjar Gunung Sari, Desa Mengwitani, Kecamatan Mengwi, sebagai Duta Kabupaten Badung di Gedung Ksirarnawa, Taman Budaya Denpasar, Kamis (16/6). Generasi muda ini menyajikan seni secara total, karena sebagian unsur seni dilakukannya melalui dramatari arja. Maka wajar, sejak parade dramatari arja ini dimulai, penonton yang hadir terpesona dan kagum dengan kemampuannya dalam menyelamatkan kesenian klasik milik masyarakat Bali itu “Saya kagum dengan penampilan anak-anak itu, dasar tarinya kuat,” ujar Made Srada salah satu penonton pengagum dramatari arja klasik.
Penonton yang hadir tak hanya dari kalangan orang tua, sama seperti pendukung dari pertunjukan dramatari arja itu, penonton yang hadir juga lebih banyak disaksikan dari kalangan anak-anak dan remaja. Mereka mungkin penasaran menyaksikan aksi para seniman remaja di atas panggung. Jika mau jujur, penoton yang hadir juga lebih banyak dari kalangan seniman, khususnya penari arja. Sebab, banyak penari yang biasa memerankan Desak Rai yang duduk di deretan tempat duduk samping. Bahkan, mereka penari arja yang tengah aktif. “Saya intif pakemnya,” ucap Cilik salah satu penonton yang biasa penari arja biasa memerankan Desak Rai.
Pembina dramatari arja, Desak Made Suarti Laksmi rupanya sangat memahami mementaskan kesenian yang mengutamakan tembang itu. Para pendukung dramatari itu kebanyakan sudah jadi karena memang dilatihnya sejak kecil. Para penari arja ini selalu diberikan kesempatan untuk menggali pengalaman melalui ngayah-ngayah atau pentas dalam sebuah event. Menariknya, setiap mengisi event ada saja tumbuh generasi-generasi baru yang serius mencintai kesnian arja ini. “Saya melatih mereka dramatari arja sesuai pakem tradisi, mempertahakan pakem tradisi yang sudah diwarisi para penari arja jaman dulu,” sebut Dosen Insitut Seni Indonesia (ISI) Denpasar itu.
Sebut saja pepeson Desak Rai dan Liku yang menjadi tokoh favorit pertunjukan dramatari arja di jaman ini. Setelah keluar rangki, Desak Rai dan Liku menari tetap pada pakem, bukan langsung beriprovisasi. Demikian pula keluarnya peran Punta dan Wijil dua punakawan Mantri (Raja) Manis, galuh beserta dayang dan tokoh-tokoh lainnya. Artinya, menari selalu seimbang, ke kanan kekiri lalu ketengah untuk tetap mempertahankan pakem, sehingga kecil pemainnya, tetapi besar maknanya. Stoksin karakternya dijaga, struktur bah bangun satwa (cerita) juga tetap dipertahankan.
Lali masalah kendala, Desak Suarti sering dihadapi pada kedisiplinan anak-anak yang merupakan penari pemula. Mereka terkadang tak bisa mengolah dialog, sehingga dalam pertunjukannya dibuatkan naskah, seperti membuat naskah drama modern. Cara mengajar dan mengingatkan para penari ada naskah, ia memakai cara pembelajaran seni a di luar negeri. Semuanya dirancang sejak awal, termasuk dialog dalam bentuk naskah. Melalui naskah ini, para pemain kemudian mempelajari menghaval lalu mampu membawakan dialog sesuai dengan tema yang diangkat. “Dulu, kami tidak merancang dialog, hanya membuat garis-garis besarnya saja. Setelah dipanggung kendalanya ada pada bahasa,” sebutnya.
Para penari memang dilatih membiasakan diri dengan cara seperti itu, maka pertumbuhan dan perkembangan para penari sangat luar biasa. Pementasan kali ini pun, mungkin melalui proses seperti itu. Diatas panggung, para penari tampak sudah bisa mengembangkan dari dialog yang dibuat, seperti dalam pertunjukan ini. Mereka berimprofisasi, tetapi hanya pada pembahasan topik saja, sehingga tidak keblabasan bahkan keluar dari alur certita. Para penari bermpropisasi tidak keluar dari alur cerita, dan tidak melanceng dari sor singgih basa. Sebut saja berdialog dengan anak agung, peran raja tidak memakai rbahasa ngawur.
Dalam pemnggunaan bahasa, Desa Suarti sangat memperhitungkan dengan baik. Itu karena dramatari di Bali termasuk arja memakai bahasa Bali sebagai bahasa yang baku. Baik bahasa yang dipakai untuk berdialog dalam bentuk tembang, vocal atau kata-kata juga dialog dalam bentuk wacana. Semuanya memakai sor singih basa. Namun, kenyataannya di lapangan berbeda. Anak-anak di dalam kesehariannya memakai Bahasa Indonesia, aku… lho.. gue dan sebagainya. Kebiasaan itu yang dirubahnya, sehingga diatas pentas pasih berbahasa Bali.
Apalagi menggarap karya yang besar, tentu ada kesulitan mengarang dialog sesuai dengan naskah dan keinginan sutradara. Maka itu, dialog sangat spesifik yang memang harus dilakoni oleh para penari arja anak-anak. Semua itu dilakukannya, sebagai cara menepis perkembangan penari arja belakanga ini keluar dari pakem yang sudah ada. Karena dituntut unsur hiburan saja, sehingga setelah keluar dari langse, sudah langsung berimprovisasi. Tidak sedikit tokoh Desak Rai ataupun Liku, setelah keluar dari langse, langse langsung jatuh, menari kedepan berimprovisasi. Bahkan improivisasi yang berlebihan terkesan keluar dari tradisi.
Kalau yang namanya sesuai pakem, tentu sangat terkait dengan gamelan, musik yang mengiringinya. Para penari seakan menyatu dengan musiknya, sehingga setiap gerakan atau tembang yang terucap memiliki roh dari melodi gamelan. Hal tersbut juga menjadi kendala bagi Desak Suarti dalam membinanya. Namun, ia mendahului dengan memberikan pencerahan, lalu memberikan lagu melalui hitungan-hitungan atau gending-gending melalui mulut. Saat bertemu dengan gamelan,para penari sudah tahu. Padahal latihannya dengan mulut, diawali dengan matembang, lalu berjalan dengan gamelan. “Ini sebagai trik mengenakan angsel melalui mulut, sehingga saat bergabung dengan gamelam mereka sudah mengerti,” paparnya.
Jika semua pementasan dramatari arja seperti ini, maka akan dapat mengedukasi nilai-nilai yang ditanamkan kepada anak-anak. Penari arja bisa lebih mengembangkan diri kedepannya agar menjadi penari arja yang baik. Setelah geerasi ini, akan bermunculan generasi-generasi baru. PKB memang menjadi ajang untuk mengedukasi para generasi muda lewat pertunjuia seni, termasuk dramatari arja ini. “Kami berharap para pengunjung khususnyta generasi muda yang senang dengan kesenian arja, bisa mencintai, kemudian mengikuti langkah generasi arja sekarang ini, lalu membagikan kepada generasi berikutnya,” harap Desa Suarti.
Lalu terkait cerita dengan tema PKB, Citta Usadhi mengangkat cerita rakyat sesuai dengan tema tema PKB ke-44 , yaitu tema “Danu Kerthi Huluning Amreta” yang bermakna Memuliakan Air Sumber Kehidupan. Hal itu ditunjukan melalui adegan-adegan, seperti cara merawat air biar tetap ening (bersih). Pesan yang disampaikan menjaga air. Walau mengangkat pentingnya air, tetapi dalam pertunjukan dramatari arja itu lebih pada memberika pesan pada pembelajaran etika.
Dramatari Arja Dukuh Siladri mengisahkan kegagalan Wayan Buyar yang memaksakan kehendaknya untuk mempersunting Ni Kusumasari sebagai istrinya. Terlebih dendam kesumatnya kepada I Mudita, suami Ni Kusumasari yang mengahajar dirinya sampai babak belur. Wayan Buyar dihajar saat memperkosa Ni Kusumasari. Kegagalan itu bukannya menjadi kapok, malah terus menggelorakan ambisinya untuk terus berjuang dengan cara apapun untuk mendapatkan Ni Kusumasari.
Oleh karena itu Wayan Buyar menghadap Dayu Datu seorang sakti mandraguna dalam ilmu hitam yang berdiam di Bukit Mumbul dengan maksud minta tolong agar mensukseskan keinginannya. Dayu Datu merasa terusik oleh tingkah polah Ki Dukuh Siladri yang terkenal dengan ajaran Sadhu Dharma. Melalui kesempatan ini Dayu Datu mendapat jalan melenyapkan keluarganya Ki Dukuh Siladri yang tinggal di Gunung Kawi.
Dayu Datu mengutus sisya sakti kesayangannya Ni Klinyar untuk membunuh I Mudita dan Ki Dukuh Siladri. Melihat ketampanan I Mudita, sisya Ni Klinyar justru jatuh hati, seraya merayunya. Namun, rayuan cintanya mendapat penolakan secara halus yang kemudian berubah menjadi keributan. Pertarungan ilmu kewisesanpun tidak dapat dihindarkan. Ni Klinyar yang bertransformasi menjadi Bawi Srenggi tidak mampu menghadapi ajian ilmu putihnya I Mudita dan Ni Kusumasari. Wayan Buyar dengan membawa serta jimat ajian pengiwa dari Datyu Datu merasa percaya diri akan usahanya untuk memboyong Ni Kusumasari membawa ke Kedampal kampung halamannya. Namun, ajian ilmu hitamnya tak mampu memproteksi dirinya manakala dia diserang oleh kawaan binatang buas suruhan I Mudita. Akhitrnya kehendak Dewata keharmonisan keluarga I Mudita didampingi Ni Kusumasari bisa kembali bersatu penuh cinta kasih dibawah bimbingan Dukuh Siladri di Pasraman Gunung Kawi. (BTN/bud)
Leave a Comment
Your email address will not be published. Required fields are marked with *