Es balok, closet dan karpet merah, tiga buah jenis benda itu merupakan karya instalasi teranyar I Ketut Putrayasa, perupa pematung berbakat kelahiran Canggu, Bali. Puluhan es balok dibuat dan ditata seperti candi (munumen) dengan hiasan lampu bersinar indah. Toilet berwarna emas berdiri sekitar 5 meter di depan es balok itu. Sementara karpet sebagai alas memanjang seperti lintyasa para raja. Ketiga benda itu memang benda biasa, tetapi ketika direspons pembacaan puisi oleh sastrawan Wayan Jengki Sunarta dan gerak tari teaterikal seniman Achmad Obe Marzuki, semua benda itu memiliki simbol-simbol, sebagai sebuah kritik sosial terhadap fenomena yang ada.
Itulah garapan seni instalasi bertajuk “The Golden Toilet in Winter” karya seniman Ketut Putrayasa Rumah Budaya Penggak Men Mersi di Jalan WR Supratman Denpasar, Sabtu (12/11). Karya instalasi itu menjadi saksi, betapa kritik sosial cerdas “tersuarakan” melalui sebuah garapan. Karya instalasi ini menjadi sejenis satire, “art simbolik” yang boleh ditafsir dengan cara pandang beragam sekaligus ambigu. Ia bisa dimaknai sebagai sapaan, suara kritis, serta cibiran halus pada kekonyolan-kekonyolan kita hari ini. Secara tidak sadar kita menjadi manusia paradok (nungkalik), yang hulu kita jadikan hilir.
Toilet, karpet merah, dan balok es, memang barang sehari-hari biasa kita temui. Namun di tangan seniman Ketut Putrayasa, istalasi ini benar-benar menjadi satire, cibiran halus pada pemegang kuasa yang tidak sungguh-sungguh melenyapkan derita warga, tapi diam-diam membangun koorporasi, membuat kesenjangan antara yang miskin dan kaya begitu jomblang. The Golden Toilet in Winter menjadi sejenis medium, bagaimana kritik dan sapaan yang kadang terbaca berseberangan itu ditembakkan lewat seni instalasi sebagai bentuk suara yang lain juga bentuk kepedulian yang tulus ikut terlibat merasakan krisis multidimensional hari ini.
Di titik ini, The Golden Toilet in Winter bukan lalu menjadi suara yang berseberangan dengan pemegang kemufakatan dunia yang panglimannya hampir dipastikan adalah modal yang tunduk pada sistem pasar, rancangan ideologi digaja dunia kapitalis. Ya, itu karena karya ini menghadirkan piranti sedikit absurd, yakni toilet yang dicat warna emas, karpet merah, dan tumpukan es balok. Seseorang dititahkan menggotong toilet emas, melintasi jalan berkarpet merah, tertatih dan ngos-ngosan, berjuang sekuat tenaga untuk bisa diletakkan pada tumpukan balok es. Tumpukan balok es itu boleh kita pahami sebagai simbol singasana yang dingin, juga menggambarkan situasi politik dunia yang dingin, yang saban waktu bisa meledak jadi krisis mengerikan.
Indikasi ini pernah dilansir B.Herry-Priyono & Yanuar Nugroho (2007), bahwa di tahun 1960, sebanyak 20% warga paling kaya dunia menguasai 70,2% kekayaan dunia, dan 20% warga paling miskin mengontrol 2,3% kekayaan dunia. Di tahun 1989, kelompok pertama sudah menguasai 82,7%, sedang yang kedua hanya kebagian 1,4%. “Jadi apapun kesepakatan-kesepakatan dunia yang bergulir di antara negara-negara, entah apa namanya, belum sanggup untuk tidak dicurigai. Kita yakin, pasti ada niat baik untuk membangun kesejahteran dan perdamain bersama. Namun sejumlah problem dunia yang tak kunjung selesai, semisal krisis iklim, krisis energi, kelangkaan pangan, perusakan lingkungan, krisis air bersih, limbah industri, dan lain-lain menunjukkan ketidakseriusan pemegang kebijakan,” kata Putrayasa disela-sela pementasan.
Maka, suatu hari George Soros pun mengaku, sebagaimana dikutip Herry -Priyono, “Ritual demokrasi memang dilakukan, tetapi kapasitas negara untuk mengelola banyak hal sesunggunya sudah dilucuti oleh kepentingan privat kelompok-kelompok bisnis.” Inilah bahayanya, bila pemilik modal kawin-mawin dengan pengelola negara. Ekonomi dan politik bersetubuh. “Jadi, apapun usaha dan kemufakatan itu, ujung-ujungnya adalah soal makan dan toilet. Di setiap persinggaha itu hanya akan menjadi tempat makan dan toilet. Negara-negara abai merawat bumi, sumber segala makanan yang semestinya dirawat dengan kesepatakan-kesepatakan saling membutuhkan,” sebutnya.
Wayan Jengki Sunarta yang membacakan puisi garapannya sendiri berjudul “Toilet Emas” yang dibuat pada Hari Pahlawan 10 November 2022 itu diambil dari judul seni instalasi karya Ketut Putrayasa The Golden Toilet in Winter. “Puisi tersebut saya buat khusus untuk merespons karya instalasi Ketut Putrayasa. Puisi tersebut berbicara tentang kritik sosial, juga mengkritik kekuasaan yang rakus, tamak dan jumawa, memangsa alam dan rakyat jelata demi kepuasan diri dan kelompok elitenya,” ujarnya.
Kelian Penggak Men Mersi, Kadek Wahyudita mengapresiasi lompatan kreativitas Ketut Putrayasa. Pemilik Rich Stone ini dipandang sebagai sosok seniman yang selalu memiliki gagasan cemerlang dan berani tampil out of the box. Selain lihai melahirkan karya-karya spektakuler, Putrayasa juga sering menyisipkan kritik cerdas untuk senantiasa mengingatkan kepada kita arti dari kehidupan yang harmonis. Baik bersama alam, manusia, maupun kepada sang Maha Pencipta. (BTN/bud)
Leave a Comment
Your email address will not be published. Required fields are marked with *