Pada tahun 1980-an, Bali pernah menjadi perhatian masyarakat dunia karena dianggap sebagai pembantai penyu. Julukan ini, muncul disaat masyarakat dunia sedang berusaha melestarikan penyu guna meningkatkan populasinya. Masyarakat Bali malah mengkonsumsi daging penyu, baik untuk keperluan acara adat maupun hidangan rumah makan yang besar. Industri kerajinan tangan dengan menggunakan bahan mentah dari krapas penyu juga berkembang pesat. Ribuan penyu tiap tahunnya dipotong untuk keperluan perdagangan, bahkan puncaknya pada tahun 1991, penyu yang diperdagangkan di Bali mencapai lebih dari 24.000 ekor.
Masyarakat dunia berusaha melindungi setelah melihat ada kecenderungan, bahwa penyu semakin langka. Populasi menurun drastis disebabkan karena tingkat konsumsi berupa daging maupun digunakan sebagai bahan kerajinan sangat tinggi. Selain itu, juga disebabkan makin terdesaknya habitat peneluran penyu oleh pembangunan di kawasan pesisir.
Dalam mengatasi permasalahan tersebut, ada dua kegiatan utama yang perlu dilakukan. Pertama menekan tingkat pemanfaatan produk penyu, baik dalam bentuk daging olahan maupun kerajinan. Kedua perlu adanya usaha aktif mempertahankan keberadaan habitat peneluran penyu yang masih tersisa saat ini. Dengan demikian populasi penyu yang menurun dapat ditingkatkan kembali.
Pemerintah Daerah Bali telah melakukan pelarangan industri kerajinan menggunakan bahan dasar penyu, serta pembatasan pemanfaatan penyu konsumsi sebanyak 500 ekor/tahun. Ini pun hanya diijinkan untuk penyu hijau, dimana hal ini dilakukan untuk mengurangi perdagangan produk penyu. Namun demikian hal ini tidak begitu saja dapat secara tepat terlaksana. Oleh karena itu perlu dilakukan penyuluhan pendidikan secara insentif dan komprehensif agar kebiasaan mengkonsumsi penyu dapat berkurang.
Program perlindungan habitat penyu telah diantisipasi oleh WWF/IP Bali bersama KSDA Jembrana dengan mengajak masyarakat Perancak untuk melakukan pengamatan terhadap penyu yang akan bertelur. Selain pengamatan, dilakukan pula percobaan penetasan telur Penyu Sisik (Lepidochelys Olivacea) yang diperoleh pada saat pengamatan.
Perancak dipilih sebagai lokasi pengamatan karena sejak dahulu Perancak dikenal sebagai daerah pemasok penyu untuk konsumsi. Perairan Perancak diketahui sebagai daerah perlintasan penyu dan pantainya merupakan tempat bertelur penyu (spawning ground). Seiring dengan adanya penyuluhan tentang konservasi penyu maka para nelayan Perancak tidak lagi memburu penyu sebagai mata pencaharian. Bahkan untuk menindaklanjuti program pengamatan dan percobaan penetasan telur penyu yang telah dirintis oleh WWF/IP Bali bersama KSDA Jembrana.
Kemudian, sebagian nelayan penangkap penyu Desa Perancak bergabung mendirikan kelompok pelestari penyu pada tanggal 11 Juni 1997 dengan nama Kelompok Pelestari Penyu Kurma Asih. Kurma Asih sendiri memiliki arti penyayang penyu. Salah satu latar belakang kelompok ini didirikan agar program yang telah berjalan dengan tukik baru dapat mencapai masa bereproduksi di umur 30 tahun.
Tidak sampai disitu saja, umur spesies penyu dapat mencapai ratusan tahun, sehingga dapat digolongkan dalam satwa purba yang mampu hidup sampai sekarang. Selain itu, penyu juga mampu menjaga keseimbangan rantai makanan ekosistem di laut.
Kurma Asih merupakan kelompok swadaya masyarakat pelestari penyu yang didirikan pada tanggal 11 Juni 1997 oleh komunitas mantan pemburu penyu di desa Perancak. Tepatnya kelompok pelestari penyu “Kurma Asih” ini terdapat di Dusun Mekar Sari, Desa Perancak, Kecamatan Negara, Kabupaten Jembrana. Berjarak kurang lebih 98km degan jarak tempuh menggunakan mobil sekitar 3 jam dari Denpasar, tidak membuat Kurma Asih sepi dari pengunjung, baik turis lokal maupun mancanegara. (BTN/*/bud)
Leave a Comment
Your email address will not be published. Required fields are marked with *