Antosias peserta mengikuti Wimbakara (Lomba) Musikalisasi Puisi Bali serangkaian Bulan Bahasa Bali ke-5 di Gedung Ksirarnawa, Taman Budaya Provinsi Bali, Sabtu (11/2). Sebanyak 23 peserta adu kepiawaian dalam bidang Musikalisasi Puisi. Kreativitas mereka begitu tinggi. Aranseman puisi, olah nada, penggarapan musik dan penataan kostum tampak sangat baik. Property yang dibawa juga mendukung tema, sehingga penampilan peserta musikalisasi ini tak hanya menyajikan musik puisi yang indah, tetapi juga sebagai seni pertunjukan yang menarik.
Lomba yang berlangsung dua hari, Jumat (10/2) dan Sabtu (11/2) diwarnai kreativitas, khusus dalam penggarapan. Meski semuanya tampil baik, namun dewan juri yang terdiri dari I Komang Darmayuda, S.SN.,M.Sn (Dosen ISI Denpasar), I Ketut Mandala Putra (Staf Balai Bahasa Provinsi Bali) dan Drs. I Made Suarsa S.U (Praktisi aksara, bahasa dan sastra Bali) tetap memilih tiga pemanang. Para pemenang itu, adalah Teater Angin SMA 1 Denpasar meraih juara I, disusul kemudian SMA I Kuta Utara (Sakura) dan Sanggar Komunitas Budang Bading Badung sebagai juara II dan III.
Peserta yang tampil, memiliki jiwa seni dalam berkolaborasi lewat puisi. Hal itu, tak hanya membangkitkan kreativitas berkesenian mereka, tetapi juga mendorong mereka untuk mengerti aksara, bahasa dan sastra Bali. Sebab saat membawakan, mereka harus mengerti puisi itu, sehingga mudah dalam penjiwaan. “Perpaduan seni inilah membuat anak-anak kita menjadi nyaman berkolaborasi antara seni. Kami berharap kedepan, adanya musikalisasi ini tak hanya diikuti para remaja saja, tetapi juga anak-anak sejak dini, sehingga dapat membumikan aksara, bahasa dan sastra Bali sejak dini,” kata Kepala Bidang Sejarah dan Dokumentasi Kebudayaan Dinas Kebudayaan (Disbud) Provinsi Bali, Drs. AA Ngurah Bagawinata, MM.
Komang Darmayuda mengaku bangga, karena pesertanya lebih banyak dari lomba-lomba tahun sebelumnya. Bahkan, sudah banyak datang dari kalangan sekolah-sekolah. Itu, berbeda dengan sebelumnya yang pesertanya didominasi oleh komunitas-komunitas yang biasa mengikuti lomba. Perkembangan kemudian didominasi siswa SMA dan SMK. Kreativitasnya pun berbeda-beda. “Tetapi harus dimengerti. Musikalisasi puisi itu, suatu garapan yang khusus. Saya melihat, banyak peserta yang memusikalisasikan puisi itu, seperti lagi pop. Mungkin pengalaman dan apresiasinya masih kurang,” ungkapnya.
Antosias peserta lomba khususnya datang dari siswa setingkat SMA dan SMK. Ini berbeda dengan sebelumnya, yang kebanyakan diikuti komuniats yang sering ikut lomba, sehingga lebih banyak yang bagus. Peserta sekarang pun bagus, tetapi kebanyakan larinya ke pop. Kostumnya juga kurang ditata. Padahal, kustum itu tak terlalu formal sesungguhnya, yang penting harus sesuai dengan judul puisi yang dibawakan. Bukan harus tampil dengan busana yang wah dan megah. “Ini baru proses. Kalau lama-lama, mungkin akan lebih mengena,” imbuhnya.
Datmayuda mengingatkan, cara membingkai kreativitas itu perlu didasari oleh logika dan estetika. Missal tema puisi tentang laut, lalu mambawa property kipas itu kurang pas. Semestinya disesuaikan dengan laut itu. Soal estetika, keindahan harus pada karya sastra. Artinya, masih dalam bentuk garapan sastra yang menampilkan spirit dari puisi dengan gaya musical. “Intinya mereka harus mengerti puisi itu, sampai dimana jeda dan berlanjut. Karena urutan kata-kata, lalu nyambung ke kata yang lain, semua itu perlu diinterpretasikan,” bebernya.
Ketut Mandala mengatakan, kreativitas seluruh peserta memang tinggi, namun ada kecendrungan memunculkan deklamasi. Dinamika puitis itu ditafsirkan sebagai deklamasi puisi. Kelirunya lagi, semuanya menjadi deklamasi, bukan musikalisasi puisi. Dengan begitu, harmonisasi dengan musik tidak terjalin dengan baik. “Ini mungkin menjadi sebuah kandala dari peserta dalam mengaransemen puisi atau musik terlalu panjang, sehingga sulit dipahami. Akhirnya, lebih mudah dideklamasikan, bukan dibuat aransemen seperti sebuah lagu,” ujarnya.
Membuat musik puisi itu memang tantangan. Itu yang memang kurang dalam lomba kali ini. Pengetahuan tentang musik perlu menjadi refrensi yang memadai. Dalam musikalisasi itu ada deklamasi, itu memang tak apa-apa, tetapi bukan seutuhnya. Kalau 2 atau 3 baris saja, itu tak apa-apa. “Saya kamun dengan kreatifitas peserta, pemakain alat musik sangat bervarisasi, sehingg terlihat lebih inovatif,” ungkapnya.
Hanya saja, itu mesti disesuaikan dengan tema puisi. Karena, kali ini mengangkat tema laut, dan laut diangap sebagai “lebur mala”, maka ada salah satu peserta yang membawa sampah plastic diikat tali plastic lalu dibentangkan melahirkan efek bunyi yang sangat indah. Disitu ada unsur teateral pertunjukan. Dari segi keutuhan penyajian juga sangat menarik. “Jadi tak hanya sebuah musikalisasi puisi, tetapi ada pertunjukan teater, sehingga menjadi sajian musikalisasi puisi yang lebih indah,” sebutnya.
Kostum dan property yang dibawa juga sangat menentukan garapan itu. Ini sebuah pertunjukan seni memakai propery, itu memang sah-sah saja asal tidak mengganggu penyajian saja. Ada salah satu peserta membawa alat musik seperti kecapi dipadu dengan alat musik lain, itu sangat bagus. Di sana tidak yang saling meniadakan, sehingga semuanya saling mendukung. Bukan membawa musik jalan sendiri, sehingga tidak nyambung. Kami berharap kedepan bisa lebih memahami dari pada pengertian musikalisasi puisi itu. Musikalisasi puisi itu sebuah harmoni dari puisi dan karya musik menjadi sebuah lagu,” pungkas Mandala. (BTN/bud)
Leave a Comment
Your email address will not be published. Required fields are marked with *