“Mitos Melemah, Hutan Terancam” Webinar Talkshow, Serangkaian Bulan Bahasa Bali 2021

“Mitos Melemah, Hutan Terancam” Webinar Talkshow,  Serangkaian Bulan Bahasa Bali 2021

Programn Studi (Prodi) Sastra Agama dan Pendidikan Bahasa Bali (SAPBB) STAHN Mpu Kuturan Singaraja menggelar Webinar Talkshow bertajuk “Mayasa Kerthi: Maguru ring Wana”. Tema webinar sejalan dengan tema besar Bulan Bahasa Bali 2021 “Wana Kerthi: Sabdaning Taru Mahottama”. Webinar Talkshow ini dibuka oleh Wakil Ketua I STAHN Mpu Kuturan Singaraja, Dr. I Made Sedana, M.Pd., Rabu (3/2).

Made Sedana berharap apa yang digelar Prodi SAPBB STAHN Mpu Kuturan berharap ide-ide yang muncul dalam diskusi tersebut dapat direspons oleh peserta yang hadir. “Saya mewakili lembaga berharap hasil kegiatan ini menjadi sebuah rumusan ide untuk gerakan pelestarian. Mari seluruh peserta yang hadir dari kalangan mahasiswa, dosen, umum, pemerhati lingkungan, penyuluh bahasa Bali untuk bersama-sama bersinergi dalam menjaga lingkungan. Keberadaan ekosistem yang terjaga akan melahirkan lingkungan yang sehat pula,” katanya.

Diskusi dipandu oleh Kaprodi SAPBB STAHN Mpu Kuturan, Made Susila Putra, M.Pd., dengan narasumber I Ketut Eriadi Ariana, S.S. (Jero Penyarikan Duuran Batur), seorang peneliti sastra tradisional yang lebih banyak mengarahkan perhatiannya ke ranah ekologi.

Jero Penyarikan Duuran Batur yang alumni Sastra Jawa Kuno Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana ini menilai, keberadaan hutan, khususnya di Bali mengalami berbagai macam ancaman, misalnya alih fungsi hutan. Kondisi ini berbanding terbalik dengan tradisi masyarakat Bali yang sejatinya selalu berupaya berlaku harmonis dengan alam. “Bali memiliki pola konservasi lingkungan yang berbasis pada keyakinan pada mitos tertentu sebagai pelindung lingkungan. Mitos inilah yang kini melemah, sehingga terjadi alih fungsi hutan, orang-orang tidak memiliki rasa takut lagi jika masuk dan mengeksploitasi hutan,” katanya.

Sebagai contoh, teks Kuttara Kanda Dewa Purana Bangsul, merekomendasikan upaya-upaya yang hendaknya ditempuh oleh masyarakat Bali dalam mengelola dan melindungi Sad Kreti dengan pelaksanaan caru. Tradisi menggelar caru kini tampak semakin terkikis dalam hal pemaknaan, sehingga makna inti terkait pemaknaan hutan tidak sampai. “Perlu kemudian melakukan demitologisasi, di mana mitos-mitos itu diterjemahkan kembali dengan pendekatan-pendekatan yang lebih bisa diterima oleh masyarakat. Bukan mengganti, tapi mentransformasikan mitos tersebut,” ucapnya.

Selama ini masyarakat Bali mewarisi mitos tentang relasi air Danau Batur dan Pegunungan Kintamani melalui mitos I Ratu Ayu Mas Membah. Mitos ini ternyata bisa dibaca dan diterjemahkan ke sains modern. “Ada kemudian penelitian secara geologis yang menyatakan bahwa air-air yang diserap dari pegunungan Kintamani itu akan muncul dalam radius kurang-lebih 8 km dari bibir kaldera. Itu yang menyebabkan kawasan hilir Batur berlimpah air dan melahirkan praktik solidaritas pangan bernama Pasihan Batur,” jelasnya.

Pada sisi lain, ia memandang bahwa segala ritus yang hidup di Bali juga menjadi salah satu alat kontrol lingkungan. Upacara Ekadasarudra misalnya, dipandang sebagai alat kontrol lingkungan Bali dalam putaran 100 tahun sekali. “Upacara itu mengajak kita untuk mengecek keberadaan lingkungan. Jika salah satu hewan atau tumbuhan yang dibutuhkan sebagai sarana upacara sudah tidak didapat, artinya lingkungan hidup sudah tidak stabil. Jadi, persoalannya bukan semata-mata sarana caru bisa dipenuhi, meski mendatangkan dari daerah lain,” paparnya.

Ke depan, penulis buku “Ekologisme Batur” ini juga berharap kesadaran menjaga lingkungan semakin tumbuh. Gerakan menanam hendaknya dapat dimasyarakatkan. Sekecil apa pun gerakan tersebut akan membantu bumi ini tetap hijau.(BTN/bud)

Posts Carousel

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked with *

Latest Posts

Top Authors

Most Commented

Featured Videos

Need Help? Chat with us