Penyuluh Bahasa Bali, Dinas Kebudayaan Provinsi Bali melaksanakan konservasi lontar di Desa Adat Buahan, Kecamatan Kintamani, Kabupaten Bangli, Jumat (17/2). Pada kegiatan konservasi dalam rangka Bulan Bahasa Bali V Tahun 2023 ini berhasil menkonservasi lontar milik Jero Bendesa Adat Buahan, I Made Antara yang berjumlah 15 cakep. “Konservasi ini untuk menyelamatan naskah-naskah kuno yang tersimpan di masyarakat,” kata Koordinator Penyuluh Bahasa Bali di Kabupaten Bangli, I Wayan Sudarsana.
Konservasi ini diawali dengan observasi keadaan lontar, pembersihan lontar, identifikasi dan digitalisasi. Tujuan utama dari kegiatan ini, untuk menyelamatkan kondisi fisik lontar milik masyarakat. Lontar-lontar itu kemudian dibaca untuk mengetahui isinya, lalu diidentifikasi kemudian digitalisasi berupa foto untuk selanjutnya dialihaksarakan secara bertahap. “Kami tak hanya melakukan pembersihan terhadap lontar, namun yang lebih penting yakni memberikan edukasi kepada pemilik lontar dalam hal menjaga dan memelihara lontar warisan leluhurnya,” papar mantan wartawan ini.
Sudarsana mengatakan, lontar itu perlu dirawat dengan baik, perlu ditempatkan di tempat yang benar agar tidak rusak. Mengingat lontar terbuat dari bahan organik sehingga rawan dimakan rayap maka perlu perlakuan-perlakuan khusus dengan bahan-bahan khusus seperti minyak sereh dan alkohol. “Pengetahuan tentang pemeliharaan inilah yang kami jelaskan kepada pemilik sembari melakukan konservasi,” ujarnya.
Saat Tim Penyuluh Bahasa Bali melakukan pendataan lontar di masyarakat khususnya di wilayah Kintamani ini, sejatinya banyak ditemukan keberadaan lontar yang tersimpan di masyarakat. Namun, masih banyak masyarakat yang belum mengijinkan lontarnya untuk dikonservasi. Alasannya, karena lontar yang ada sangat disakralkan. Maka wajar, beberapa lontar milik masyarakat tersebut tidak terawat bahkan rusak. “Jero Bendesa Adat Buahan masih rutin merawat dan membaca lontarnya. Mengingat kondisi alam di Desa Adat Buahan yang dingin, maka ada sebagian lontar yang kondisinya kurang baik. Dari 15 cakep lontar 14 cakep dapat teridentifikasi, sementara 1 cakep tidak dapat diidentifikasi,” ujarnya.
Bendesa Adat, Made Antara mengatakan, dengan adanya program konservasi lontar oleh Pemerintah Provinsi (Pemprov) Bali, Dinas Kebudayaan Provinsi Bali melalui Penyuluh Bahasa Bali yang bertugas di wilayah Kabupaten Bangli, keberadaan lontar warisan leluhur dapat dikonservasi dan dirawat dengan baik. “Untuk lontar kami ada 15 cakep, dan 90 persen kondisinya masih bagus. Sebagian memang perlu dikonservasi, perlu ditata ulang karena berserakan, sudah dilakukan penataan ulang oleh tim Penyuluh Bahasa Bali,” ujarnya.
Setelah diidentifikasi, terdapat beberapa jenis lontar, diantaranya lontar terkait padewasan (Penentuan Hari Baik), Puja-Puja Pitra Yadnya, Lontar Usadha (Pengobatan Tradisional), Lontar Tenung Pawetuan Rare, Lontar Dharma Laksana Alaki Rabi, Lontar Upatani (Pertanian), Lontar Babad Keluarga, Lontar Pembuatan Kajang, Lontar Surya Sewana. “Jadi ada sekitar 14 cakep yang dapat diidentifikasi. Lontar yang kami warisi ini sejatinya merupakan lontar milik leluhur yakni bernama almarhum Jero Kubayan Ginas, dan almarhum I Made Jara,” ujarnya.
Kegiatan konservasi ini sangat membantu menyelamatkan lontar-lontar yang ada di masyarakat terutama yang ada di pelosok desa. Sebagai masyarakat di Desa, pihaknya sangat mendukung program bapak Gubernur Bali dengan melaksanakan konservasi lontar dalam rangka Bulan Bahasa Bali. Kami sejatinya tidak tahu bagaimana tahapan perawatan lontar. Jadi tim penyuluh Bahasa Bali ini kan paham terkait konservasi, secara teknik mereka punya pengetahuan, dari situ kita tahu bahwa ternyata perawatan lontar itu butuh pengetahuan. Mungkin dulu hanya sekedar meminyaki pakai tingkih, tetapi dengan apa yang sudah dijelaskan tadi kita jadi tahu ternyata teknik konservasi lontar sangat dibutuhkan dan sangat penting untuk diketahui,” ujarnya.
Terkait dengan adanya masyarakat yang masih meyakini bahwa lontar itu tenget, Antara mengaku memang lontar itu perlu disakralkan, namun sejatinya lontar itu sama dengan ilmu, sama dengan buku. “Kalau hanya disakralkan kemudian tidak dibaca dan dirawat itu namanya disakralkan yang salah. Memang lontar sakral, sehingga proses pembacaan tidak bisa sembarangan, perlu ritual, kemudian saat dibaca beralaskan dulang, tidak dilantai. Tetapi kalau sampai tidak dibaca sama sekali itu malah nantinya lontarnya rusak, ilmunya juga tidak didapat. Masyarakat tidak perlu kawatir lontarnya dikonservasi,” pungkasnya. (BTN/bud)
Leave a Comment
Your email address will not be published. Required fields are marked with *