Siang itu, udara masih terasa panas, namun beberapa penonton sudah duduk manis di Kalangan Ayodya, panggung terbuka yang terletak di sebelah Timur Laut, Art Center (Taman Budaya) Denpasar. Mungkin mereka penggemar kesenian prembon fanatic, sebab agenda Pesta Kesenian Bali (PKB) ke-44 saat itu, Kamis, 23 Juni 2022 menampilkan rekasadana (pergelaran) prembon dari Sanggar Mumbul Sari, Banjar Maspait, Desa Keramas, Kecamatan Blahbatuh, sebagai Duta Kabupaten Gianyar.
Penonton yang hadir dari berbagai kalangan, yang konon ingin menyaksikan prembon lucu dan menawarkan sajian seni kreatif dengan inovasi-inovasi baru yang tak pernah jemu. Gamelan sebagai music iringannya itu mempergunakan Semarandhana yang dipadu dengan alat-alat music modern, seperti keyboard, gitar bass dan Kendang Sunda untuk menciptakan suasana lebih menarik. Maka itu, ketika tabuh petegak dimulai, melodinya yang manis seakan memanggil penonton untuk lebih mendekat, karena pertunjukan bakal dimulai.
Prembon yang didukung sebanyak 30 seniman tari dan tabuh itu mengangkat judul “Eling” sebuah pesan sederhana yang ditawarakan kepada penonton, dan masyarakat luas. Balutan kisah yang dipadu humor kekinian, membuat pergelaran prembon itu semakin lama, semakin bertambah penontonnya. Pengunjung kalangan itu hingga meluber karena tidak kebagian tempat duduk. “Katanya prembon ini lucu, makanya nonton,” kata Wayan Sadia bersama dua anaknya, penonton asli Denpasar.
Kisah diawali dari penampilan Limbur yang dalam prembon ini memerankan tokoh Raja Magada bernama Sri Diah Magemblung. Pemeran raja yang dibawakan penari senior, tampil sebagai “pemahbah” menceritakan keberadaan kerajaan dan keluarganya. Raja itu mempunyai dua putra laki-laki bernama Raden Magada dan Raden Magadon. Namun, Raden Magada telah pergi melakukan konsulidasi dengan kerajaan-kerajaaan tetangga untuk mempererat hubungan baik dibidang ekonomi, sosial budaya, politik dan keamanan. Dikatakan, saat melakukan tugasnya, Raden Magada meninggalkan istri bernama Diah Gek Templon Encong Similikiti.
Raja kemudian memangil Desak Rai, sebagai punakawan yang yang malas, namun banyak tinggkah. Desak Rai yang dperankan ole seorang pria itu pun keluar dengan gaya tari yang khas, kemudian mengocok perut panonton. Apalagi, setelah masuknya Liku yang dalam kisah ini bernama Diah Gek Templon Encong Similikiti, suasana menjadi lebih komunikatif. Gek Templon Encong Similikiti yang diperankan penari laki-laki itu mengundang gelak tawa penonton dengan berbagai lelucon yang dikemas sejak awal, ataupun yang digali setelah berada di atas pentas.
Sambil menari dengan berbagai gaya, Gek Templon melontarkan lelucon kepada penonton yang terkadang kasar, namun dijawab kemudian dengan solusi yang mendidik dan penuh nilai-nilai moral. Adegan yang membuat penonton tertawa terpingkal-pingkal ketika kedua tokoh itu melibatkan penonton dalam menggali bahan lelucon. Walau penonton dijadiakn bahan lelucon, tetapi mereka tidak marah, bahkan merespon sehingga pergelaran seni itu menjadi lebih hidup. Dengan gaya pikatnya yang khas, Gek Templon berhasil merayu bule untuk menari bersama, spontan kemudian mendapat sambutan meriah penonton.
Raden Magadon yang masih jomblo dikisahkan sangat terpesona dengan kercantikan ipartnya itu (Diah Gek Templon Encong Similikiti). Karena pikiran kalut, Raden Magadon merayu iparnya, namun diketahui oleh ibunya. Sang raja Diah Magemblung lalu menasehati anaknya dan manantunya untuk “Eling” dengan status swadharmanya. Sementara, Diah Gek Templon diingatkan untuk eling terhadap suaminya yang sedang bertugas, eling dengan kerajaan, lalu mengajak semua pengunjung yang hadir untuk “Eling” pada swadarmanya masing-masing.
Pada adegan ini, adegan Open dan Sengeng, dua punakawan Raden Magadon yang tampil sungguh memikat. Meski tampil lucu, namun mereka memiliki dasar tari yang sangat kuat, sehingga menjadi sebuah pertunjukan seni prembon yang sangat menarik dan metaksu. Pakem tari masih ada, namun dikombinasi dengan trend kekinian khususnya dalam sajian lelucon, sehingga menjadi pertunjukan seni yang sangat atraktif. Semua pemain hampir kocak, namun tetap menyelipkan pesan-pesan sebagai bekal penonton pulang.
Koordinator yang juga Ketua Sanggar Mumbul Sari I Wayan Suarta sangat jeli mengkemas pertunjukan prembon ini. Seniman ini tak hanya menyajikan seni untuk hiburan, tetapi juga menyelipkan pesan serta serta pengenerasian. Sebab, dalam pergelara kali ini tak hanya menampilkan penari-penari senior, tetapi juga pemula yang perlu mendapat kesempatan tampil. Perpaduan antara penari senior dan pendatang baru sama-sama memiliki keunggulan. Masalah atau fenomena dikemas dengan lelucon, lalu disodorkan solusi sebagai bentuk pesan.
Wayan Suarta yang akrab disapa Rawit mengangkat penari-penari junior yang ke kancah seni pertunjukan prembon bergengsi. Pentas diajang bergengsi seperti PKB seakan mereka yakin akan memberikan pengalaman yang lebih bagi para seniman. Penari-penari junior diberdayakan, sehingga nantinya bisa berkembang dan yang terpenting lagi memperkenalkan tokoh baru ini kepada masyarakat melalui ajang PKB. “Kita seniman diatas 50-an memberikan wadah bagi seniman baru untuk ikut berkembang. Intinya kita memberikan kesempatan,” imbuh pemeran Raden Magadon itu.
Walau kedua peran wanita yang dibawakan penari laki itu tergolong baru, namun mereka tampil mempesona. Orang awam tidak akan mengira kalai mereka adalah laki-laki, karena gaya dan kelakuannya mirip kelakuan perempuan. Mereka tak hanya piawai menari, tetapi lihai juga mengocok perut penonton dengan lontaran leluconnya. Walau Gek Templon pertamakali pentas di ajang PKB, namun Liku ini sudah biasa menari untuk ngayah dan acara lainnya. “Saya sejak kecil sudah menjadi liku,” kata Gek Templon yang bernama asli Mang Ata yang masih siswa sekolah pariwisata itu.
Menarik dari rekasedana ini, Prembon yang biasa menyajikan cerita panji, namun mengangkat kisah karangan. Rawit panggilan akrab dari Wayan Suarta itu membeberkan bahwa Prembon yaitu Dramatari Arja yang diperinbuhkan, dikolaborasikan dengan kesenian lain. Kisah dengan judul “Eling” ini untuk mengingatkan kepada diri sendiri dan orang lain untuk tetap eling pada swadarmaning masing-masing. Pesan yang disampaikan orang mesti menjalankan swadarma masing-masing dengan baik. Termasuk swadrama sebagai pregina. “Swadarma sebagai masyarakat pada umunnya agar selalu eling pada visi dan misi Gubernur Bali, Namun Sad Kerthi Loka Bali untuk menjaga alam lestari,” sebutnya.
Dalam prembon inipun, seniman ini tetap eling untuk menampilkam sebuah seni dan budaya agar diapresiasi dengan baik oleh orang lain, sehingga tidak menimbulkam kesan-kesan yang tidak baik di masyarakat. Sebut saja yang di-upload kesenian joged porno, yang sangat kurang baik. Joged jaruh yang diapload itu dapat merusak seni dan budaya Bali yang adi luhung. Melalui pementasan ini, ia mengajak seniman untuk berbuat sesuai dengan swadarma sebagai seniman agar budaya Bali menjadi positof di mata dunia.
Mengkolaborasikan prembon dengan kesenian lain, Rawit beralasan pergelaran prembon ini merupakan kesenian arja yang dikolaborasikan dengan kesenuan lain. Kalau dulu dipadukan dengan topeng, namun kali ini prembon perimbuhan disisipkan lagu-lagu pop Bali dengan menampilkam penyanyi dan music modern seperti memasukan keyboard, gitar bass dan kendang sunda sebagai daya tarik. Persembahan kolaborasi dengan music modern sebagai bentuk para seniman yang sudah eling dengan swadarma secara sekala dan niskala, maka menghaturkan berbagai unsur seni dengan penuh suka cita kepada Tuhan Yang Maha Esa. (BTN/bud)
Leave a Comment
Your email address will not be published. Required fields are marked with *