Perdebatan tentang jalan menuju Hyang Maha Ada tidak pernah selesai sepanjang jaman. Bukan karena perdebatannya tidak mendapatkan titik temu, tetapi lebih pada perdebatan itu sendiri telah dikendalikan para pemegang kekuasaan. Pergulatan tentang jalan menuju Hyang Maha Ada diangkat kedalam sesolahan (pergelaran) seni sastra yang ditampilkan oleh Sanggar Bajrajnyana Music Theater pada Bulan Bahasa Bali ke-3 yang ditayangkan Chanel You Tobe Dinas Kebudayaan Provinsi Bali pada, Rabu 10 Pebruari 2021 pulul 19.00.
Garapan yang mengangkat judul “Sanggita Karma Yoga Sanyasa” ini berangkat dari dasar dan spirit teater tradisi Bali, yaitu teater yang bersifat total dengan mempergunakan berbagai elemen seni pertunjukan, seperti nyanyian, musik, tari, dan sastra. Dikisahkan, jalan menuju Tuhan begitu banyak, sesuai dengan kecendrungan dan cara meniti hidup dari para panembah ( Orang yang melakukan sadhana atau disiplin diri dalam jalan yoga atau spiritual). Ada melalui pengetahuan yang membebaskan, ada yang khusuk dengan bakti, ada yang berkarya di tengah pasar dunia, dan ada yang melampaui keterikatan duniawi sebagai pejalan sunyi. Semua itu sejatinya jalan pembebasan jika kesadaran spiritual menjadi tujuannya.
Meski garapan yang disajikan secara virtual itu, dimana pentas dan pengambilan gambar dilakukan seperti cara membuat film, yang tempat pentasnya berpindah-pindah, tetapi masih kental dengan konsep teater arena (panggung). Cerita disampaikan melalui tembang (nyanyian) yang didukung musik dan tari. Melalui tembang inilah pesan filsafat dan spiritual yang menjadi inti dari agama itu disampaikan. Pesan yang dibalut dengan nyanyian dan tari itu memanfaatkan alat musik ricikan (yang diperlukan), bukan memakai barungan gambelan yang utuh, sehingga pesan itu terasa kuat.
Garapan berdurasi sekitar 50 menit itu menggunakan alat musik berupa gender wayang baru (berdaun 14 bilah), suling gambuh laras gender wayang, suling menengah laras gender wayang, bonang barung laras selendro, kenong laras selendro, selentem laras pelog dan selendro, penembung laras pelog, sepasang gong ageng, gong beri ageng (wind gong), kendang bedug, kendang ciblon, kendang sabet, sepasang kemanak, tambura (string instrument dari India) untuk mengiringi vokal, rebana besar atau terbang, perkusi yang terdiri dari berbagai gong beri kecil, dan genta.
Art Director, Konsep dan Naskah Karya Dr. I Gusti Putu Sudarta, SSP., M.Sn mengatakan, cerita yang digarap dalam karya ini diambil dari Tutur Candra Bhairawa yang mengisahkan tentang perdebatan Buda Paksa (Bajradara) yang dianut oleh Candra Bhairawa dari kerajaan Dewantara dan Shiwagama yang dianut oleh Yudistira raja Astina. Yang menjadi perdebatan sengit adalah jalan manembah yang bermuara pada Karma Sanyasa dan Yoga Sanyasa.
Candra Bhairawa manembah melalui jalan yoga sanyasa, memuja dewa yang ada dalam diri, dimana badan atau tubuh adalah meru sarira atau kuil suci dan dalam Padma hati atau Padma hredaya itulah Tuhan sebagai Sanghyang Wairocana atau Adi Budha dipuja. Candra Bhairawa tidak membangun pura, sanggah kabuyutan, arca lingga, pretima, dan tidak melakukan upacara pemujaan karena tidak percaya dengan dewa yang ada di luar diri, apalagi buta kala, pitra. Hal inilah yang menjadi dasar perdebatan.
Gusti Sudarta yang dibantu I Putu Gde Asra Wijaya, S.Sn dan Kadek Dewi Aryani, S.Sn sebagai penata tari serta Dr. I Gusti Putu Sudarta, SSP., M.Sn sebagai penata music membagi garapan itu menjadi beberapa adegan (bagian), seperti; adegan Kidung Manggala Puja, Monolog, Pesantian siki, Kidung Wanwa, Pesantian Kalih, Siat (perang) dan Penyuwud (bagian akhir). (BTN/bud)
Leave a Comment
Your email address will not be published. Required fields are marked with *