Sanggar Dewa Ruci Pentaskan ‘Pusaka Ki Tadah Satru’

Sanggar Dewa Ruci Pentaskan ‘Pusaka Ki Tadah Satru’

Sebagain orang mengkhawatirkan kesenian drama gong itu ditelan jaman. Ternyata tidak. Buktinya, ajang Pesta Kesenian Bali (PKB) XLIV menampilkan grup-grup drama gong yang masih lestari. Sebut saja salah satunya disajikan oleh Sanggar Dewa Ruci dari Banjar Lambing, Desa Sibang Kaja, Kecamatan Abiansemal, Duta Kabupaten Badung di Kalangan Ayodya, Taman Budaya Provinsi Bali (Art Center), Jumat (24/6) malam. Sangar ini mengangkat lakon ‘Pusaka Ki Tadah Satru’, kerinduan para seniman yang tampil terobati ketika kembali menjajal Panggung Ayodya.

Para pemain yang rata-rata anak muda ini pentas karena merasa sudah rindu sekali dengan pementasan secara langsung. Dengan diselenggarakannya kembali PKB secara offline, para seniman muda pun kami kembali rekrut dan dibina. Setelah dua tahun pandemi, sekarang kerinduan mereka terobati tampil di PKB. “Untuk tampil di PKB, Sanggar Dewi Ruci melibatkan sebanyak 12 orang seniman diiringi belasan penabuh dari Sanggar Seni Jayengrat dari Desa Taman, Kecamatan Abiansemal, Badung,” ungkap Ida Bagus Gede Mambal pemain daram gong tersebut.

Karena sudah ada pengalaman sebelumnya, jadi agak mudah dalam membina. Kendalanya hanya waktu latihan saja. Waktu bertemu untuk latihan bersama cukup singkat, tidak lebih dari empat kali. “Mengingat mereka masing-masing juga tampil di beberapa agenda kegiatan seni,” terangnya.

IB Gede Mambal melanjutkan, lakon Pusaka Ki Tadah Satru menceritakan sebuah pusaka yang akan keluar dengan sendirinya bila ada musuh maupun bahaya. Setelah pusaka itu mendapatkan satru (tetadahan), maka pusaka itu akan kembali sendiri pada sarungnya. Pada suatu ketika, pusaka tersebut mengamuk dan mengenai raja dari kerajaan Amerta Pura. Sang raja pun terbunuh, hingga pemerintahan diganti oleh sang adik.

Suatu ketika, raja yang memerintah saat ini mendapat petunjuk dari Bhagawanta agar segera dilaksanakan upacara yadnya yang disebut dengan Tawur Nawagempang dan mererebu ring segara, menyucikan pusaka tersebut ke laut maupun danau. Diutuslah Putra Mahkota yang bernama Raden Jaya Semara pergi ke hutan mencari sarana yadnya (getih warak, buron tukang).

Karena di tengah hutan tiba-tiba hujan deras dan banjir, Raden Jaya Semara mampir di sebuah pedukuhan bernama Pedukuhan Alas Raketan. Mampir selama tiga hari, Putra Mahkota Kerajaan Merta Pura itu jatuh cinta dengan Luh Karuni, salah satu anak Ki Dukuh. Ki Dukuh merestui cinta mereka dan membawa Luh Karuni ke kerajaan Merta Pura untuk dinikahi.

Setelah tiba di kerajaan, pro kontra terjadi. Luh Karuni sempat difitnah, disiksa dan ingin dikembalikan ke pedukuhannya. Pada saat yang sama, Ki Dukuh menghadap ke istana untuk mempersembahkan daging yadnya dan mengetahui perlakuan yang didapat anaknya. Di sini lah Ki Dukuh menceritakan asal usul kelahiran Luh Karuni. Pada saat huru hara di kerajaan, di mana pusaka mengamuk dan raja yang dulu terbunuh, istrinya sedang hamil besar lari ke hutan dan diselamatkan oleh Ki Dukuh. Saat itu, anaknya berhasil diselamatkan, namun nyawa ibunya tidak tertolong.

“Saat lahir, anak itu berbantal sarung pusaka dibungkus selendang. Setelah dibuka, ada tulisan dari darah ‘Diah Karunia Dewi Amerta Pura’. Jadi, Luh Karuni adalah putri raja. Akhirnya raja yang sekarang bersama agar yadnya dilaksanakan terlebih dahulu, setelah itu mereka dijodohkan,” jelasnya. (BTN/bud)

Posts Carousel

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked with *

Latest Posts

Top Authors

Most Commented

Featured Videos

Need Help? Chat with us