Sudah sangat tepat pemerintah menerapkan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Darurat sebagai upaya untuk mengurangi bahkan menghilangkan pandemic Covid-19 dari Bali, dan Indonesia. Hanya saja, terkesan tanpa perencanan yang matang. “Secara prinsip, saya setuju dengan prioritas untuk menangani pandemi sebagai prioritas utama. Saya merasa, PPKM Darurat untuk Jawa – Bali yang diumumkan oleh Pemerintah Pusat terlalu mendadak,” kata Regional Director of Operations & General Manager I Nyoman Prabawa, Rabu (14/7).
Prabawa lalu memberikan alasannya, pertama implementasi PPKM Darurat ini tanpa dibarengi dengan bantuan sosial yang cepat di salurkan kepada rakyat, terutama yang sangat membutuhkan. Berdasarkan sumber data Dinas Kesehatan Bali https://infocorona.baliprov.go.id/ pada tanggal 26 Juni 2021, Pemerintah Provinsi (Pemprov) Bali mengeluarkan data yang menyatakan, bahwa Bali sudah masuk zona orange. Ia membenarkan trend kasus aktif selama kurun 7 hari pada saat itu meningkat. “Justru ini menjadi tanda tanya, mengapa Bali yang sudah zona orange tiba-tiba ikut menjadi zona merah? Bahkan itu tanpa dibarengi dengan data statistik yang menunjang. Mestinya, pada saat mengumumkan Bali harus menjalani PPKM Darurat disertai dengan data statistik yang akurat,” lanjut Prabawa.
Demikian, pada tanggal 5 Juli 2021, Pemprov Bali mengeluarkan data statistik mengenai implementasi vaksinasi yang telah mencapai 77.87% (Tahap I) dan 25.21% (Tahap II) dari total target 2,996,060 penduduk Bali. Sebagai orang awam, Bali sebagai Provinsi yang menerima vaksinasi paling banyak dalam skala nasional, seharusnya tidak dengan mudah sekali kembali menjadi zona merah (dalam kurun 10 hari sejak di nyatakan sebagai zona oranye). “Apakah pasien yang terpapar di Bali adalah penduduk Bali, apa wisatawan domestik yang sedang berada di Bali, apa pendatang yang sedang ada di Bali?,” lanjutnya penuh tanya.
Alasan lain, pada tanggal 10 Juli 2021, Pemprov Bali mengeluarkan statistik terkini mengenai vaksinasi yang telah mencapai 85.71% (tahap I) dan 25.48% (tahap II). Secara pribadi, dirinya berusaha objektif dalam menganalisa keputusan pemerintah pusat yang memutuskan Bali harus dimasukkan kedalam wilayah yang menerapkan PPKM Darurat, demi untuk melindungi Bali agar tidak di masuki oleh “carrier”. Namun, hal ini dapat disikapi dengan cara menerapkan aturan, bahwa wisatawan domestik tetap di perbolehkan masuk Bali dengan catatan telah di vaksinasi 2 kali. “Saya catat sudah ada 15 juta orang lebih di seluruh Indonesia telah menerima vaksinasi kedua. Jika 10% dari angka tersebut masuk Bali, maka 1.5 juta wisatawan domestik tersebut akan dapat sedikit banyak membantu menggerakkan roda ekonomi Bali,” jelasnya.
Prabawa menambahkan, memang semua keputusan pasti ada resikonya. Tetapi, jika pemerintah berani membuat keputusan membuka Bali untuk wisatawan domestik maupun asing, maka semua elemen atau stakeholder harus mampu menjalankan “risks management” itu sendiri. “Dalam dunia perhotelan, kami mengenal yang namanya “risks management” dan “crisis management” dimana kami akan berkomitmen penuh untuk menjaga Bali agar tetap disiplin menjalankan protokol kesehatan yang ketat, juga membantu untuk mendidik masyarakat umum untuk sadar dan disiplin terhadap prokes,” imbuhnya.
Menurut Prabawa, pemerintah terkesan lamban dalam mengantisipasi efek domino ekonomi dalam masa keterpurukan selama pandemi ini. Seperti misalnya; Perbankan masih tetap menjalankan prosedur normal, dimana para kreditur tetap harus membayar cicilan rumah, mobil dan lain sebagainya, tanpa adanya toleransi sedikitpun. Padahal, sebagian besar dari pekerja hotel tidak mendapatkan gaji sama sekali. PLN, PDAM, Telkom juga tidak mengeluarkan kebijakan yang meringankan beban hidup rakyat kebanyakan. Perusahaan Asuransi juga tidak mengeluarkan kebijakan apapun terkait pandemi. Sekolah tetap menuntut biaya untuk SPP, pembelian alat-alat sekolah dan lain-lain. Sedangkan dari sisi kami sebagai wajib pajak, Pajak tetap harus dibayar demi untuk membantu pemerintah,” ungkapnya.
Dirinya mengaku tetap mengikuti anjuran pemerintah dan mempertimbangkan aspek sosial. Hotel yang dikelolanya tidak mem-PHK karyawan, sehingga tetap membayar iuran BPJS Kesehatan dan BP Jamsostek. Karyawan yang dirumahkan tanpa gaji, tetap dapat menikmati layanan kesehatan BPJS termasuk anak dan istrinya. “Itulah sedikit kontribusi kami untuk membantu meringankan beban dari karyawan kami. Nah, sejak April 2020, kami tidak mendapatkan pemasukan dan jika PPKM Darurat akan di perpanjang masa berlakunya, dan pariwisata Bali tidak dibuka secepatnya, saya bisa nyatakan hotel kami akan segera bangkrut, dan sudah banyak hotel-hotel di Bali mengalami hal itu,” keluhnya. (BTN/bud).
Leave a Comment
Your email address will not be published. Required fields are marked with *