Seni Gerabah Masih Eksis di Desa Kapal

Seni Gerabah Masih Eksis di Desa Kapal

Walau jaman sudah modern dan canggih, tetapi gerabah, benda-benda yang terbuat dari tanah liat masih saja ada disekitar kehidupan masyarakat Bali. Maklum, benda-benda tersebut lebih banyak berfungsi sebagai benda upacara. Maka itu, perajin gerabah di Banjar Basang Tamiang, Desa Kapal, Kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung, Bali masih lestari hingga saat ini. Sebut saja salah satunya Perajin Gerabah Adi Putra. Usaha gerabah ini, kini diteruskan oleh anak muda yang tak mau tradisi membuat gerabah itu lenyap ditelan jaman.

I Putu Agus Adi Putra, demikian nama anak muda kreatif itu. Ia selalu bersemangat meneruskan usaya yang dirintis leluhurnya itu. Usaha ini dilakukan turun temurun dari nenek moyang sampai sekarang. “Jujur, saya tidak tahu, saya ini sebagai generasi perajin gerabah yang keberapa. Sejak lahir, saya sudah menemukan budaya keluarga membuat alat upacara yang terbuat dari tanah liat ini. Bahkan, biaya sekolah itu dari hasil kerajinan gerabah ini,” ungkap Agus Adi Putra di tengah-tengah aktivitasnya membuat gerabah, Kamis (16/11).

Jenis gerabah yang dibuat khususnya yang dipergunakan upacara adat dan agama, seperti upacara ngaben, memukur, mekarya dan odalan-odalan lainnya. Semua peralatan upacara khususnya terbuat dari tanah itu yang terus dijalankan. “Di jaman milenial sekarang ini, agak susah mencari bibit pembuat gerabah jenis ini. Maka itu, barang yang ada tak bisa, seperti dulu. Sekarang ini pas-pasan. Saya yang biasa membakar gerabah harus rela berbagi dengan pembakar gerabah yang lain. Selain membuat gerabah, kami juga menyediakan tempat pembakar gerabah,” ucapnya.

Untuk mendapatkan gerabah yang memiliki kualitas baik, proses pembakaran menjadi hal yang sangat penting. Setelah gerabah jadi, tak bisa langsung dibakar. Karena tanah liat itu masih dilapisi air, sehingga harus dikeringkan melalui sinar matahari. Tetapi, kalau musim hujan seperti sekarang ini, harus mengeringkan melalui tungku pembakaran. Caranya, tak semua gerabah dimasukan. Hanya beberapa saja dengan istilah dihangatkan seperti cahaya matahari. Setelah kering, baru dimasukan lagi ke wadah pembakaran sampai kira-kira tinggingnya 1 meter.

Kalau gerabah dalam ukuran kecil-kecil seperti coblong, junpere, caratan dan lainnya bisa menampung sekitar dua ribuan dalam satu kali bakar. Berbeda dengan gerabah dalam ukuran besar, seperti sende, ari-ari, pane dan lainnya tentu jumlahnya lebih sedikit. Setelah proses penghangatan selesai, dan gerabah sudah dalam keadaan benar-benar kering yang biasanya ditandai dengan tak ada asap lagi, maka dilanjutkan dengan proses pembakaran selama dua jam.

Walau sudah melakukan pembakara semaksimal mungkin, tetapi hasilnya tak akan semualus yang diharapkan. Tentu akan ada yang tak berwarna merah karena kekurangan panas api. Ada pula berwarna hitam yang juga kekurangan api. “Gerabah yang sudah berwarna merah itu artinya sudah matang. Kami kemudian mengkmeas khususnya gerabah yang kecil-kecil lalu siap dikirim ke pasaran. Ada pula orang yang datang ke sini mencari. Intinya, walau banyak yang mencari ke sini, tetapi kami tetap membuat dan membakar, sehingga memiliki stok,” ujar pemusik ini.

Agus Adi Putra mengatakan, penduduk di Banjar Basing Tamiang, Kapal hampir semuanya menekuni sebagai perajin gerabah. Hal itu sudah dilakukan secara turun temurun. Namun, setelah perkembangan pariwisata dan yang lainnya, beberapa perajin gerabah tak memiliki penerus. “Menurut cerita orang tua dulu, di banjar kami hampir 100 persen bergelut dibidang kerajina gerabah, tetapi kini bisa dibilang sudah beda yang hanya menekuni sekitar 70- 80 persen saja. Banyak generasi muda yang keluar desa untuk mengadu nasib,” paparnya.

Lalu, ia sendiri mengaku sangat serius menekuni usaha ini. Setelah tamat Sekolah Menengak Kejuruan (SMK) Teknologi Informasi, ia langsung terjun menggantikan orang tuanya. “Saya memilih pekerjaan ini, karena bisa dilakukan dari rumah. Apalagi, sebagai orang Bali yang sudah berkeluarga mesti terjun ke masyarakat seperti mebyara dan ngayah. Maka itu, saya memilih usaha ini untuk meneruskan warisan leluhur,” pungkas pria ini serius. (BTN/bud)

Posts Carousel

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked with *

Latest Posts

Top Authors

Most Commented

Featured Videos

Need Help? Chat with us