Seni Instalasi Karya I Ketut Putrayasa Merespons Agenda G20

Seni Instalasi Karya I Ketut Putrayasa Merespons Agenda G20

Nusa Dua memang menjadi konsentrasi dunia beberapa hari belakangan ini. Di tengah keseriusan Foprum G20 membahas populasi bumi, perdagangan global dan lainnya terkait dunia, para delegasi dari berbagai negara itu juga mendapatkan sajian seni. Seniman Badung I Ketut Putrayasa mendapat kesempatan merespon ajang ‘World Conference Economy Creative’ yang digelar di Hotel Westin, Nusa Dua. Sebanyak 35 karya seni instalasi bambu yang dikerjakan ratusan orang tersebut menjadi sebuah sajian seni yang menarik. Karya seni itu, rencana ditinjau Presiden RI Joko Widodo hari ini, Kamis (6/10).

Karya seni instalasi tersebut, memang unik. Semua bahan memakai bambu sebagai material utama. Subjek materinya juga klasik, yang menampilkan bentuk jamur sebagai ungkapan metaforik yang menggambarkan pertumbuhan dan kebersamaan layaknya sifat tumbuhan jamur yang tumbuh dengan cepat dalam satu koloni spora. Subjek materi jamur itu dipertegas dengan pemakaian material bambu yang secara alamiah memiliki sifat kuat, tangguh, dan lentur. “Saya hanya merespon lewat karya instalasi bamboo,” kata Putrayasa santai.

Bambu-bambu menjadi alternatif dalam penerapan material ekologis dengan syarat aman bagi kesehatan manusia dan lingkungan. Hal disebut juga sebagai material yang “Sustainable dan Environmentally Friendly. Maka sangat sederhana, alasan memakai bambu sebagai material utamanya. Kata ‘kreatif’ yang memiliki pengertian ‘daya cipta’ atau ‘memiliki kemampuan untuk menciptakan’ dan “kreativitas” berarti kemampuan untuk mencipta atau daya cipta merupakan naluri yang sudah dimiliki manusia sejak lahir. “Nah, nilai-nilai tersebut juga hadir dalam proses pengerjaan karya ini yang kami buat secara kolektif. Jujur, saya dibantu oleh 700 orang yang bekerja bersama selama 10 hari,” ujarnya.

Nilai kolektivitas dalam penciptaan karya seni rupa menguat sejak beberapa tahun terakhir sebagai sebuah wacana dalam ekosistem seni rupa kontemporer. “Nilai komunal dan kolektivitas dalam konteks penciptaan karya sesungguhnya telah ada dalam tradisi penciptaan karya seni rupa dan budaya visual dalam ruang ruang kebudayaan tradisi kita di Bali,” ucap seniman asal Tibubeneng, Kuta Utara Badung itu.

Putrayasa menjelaskan, ada sistem pengorganisasian kerja yang terjadi dalam kerja kolektif yang terjadi dalam kerja kolektif di ruang tradisi. Bagaimana seorang perupa yang diposisikan sebagai sangging atau undagi yang bertanggungjawab pada para pengayah atau artisan yang bekerja membantu mewujudkan bentuk dan konsep yang telah ditetapkan sang perupa.

Disamping secara pola kerja kolektif, secara pilihan teknis karya ini, kata Putrayasa juga menggali dari pengetahuan kontruksi tradisional Bali dalam mengolah material bambu. “Teknik jalinan, ikatan dan anyaman kontruksi yang disebut iket tinjeh dalam pengerjaan bade atau menara pengusung jenazah dalam upacara ngaben dikembangkan dalam proses penciptaan karya ini. Sebuah kolektivitas yang holistik, dan kreatif secara inklusif,” pungkasnya. (BTN/bud)

Posts Carousel

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked with *

Latest Posts

Top Authors

Most Commented

Featured Videos

Need Help? Chat with us