Sekitar 500-600 orang laki-laki dan perempuan, dari kalangan anak-anak, remaja hingga orang tua di Desa Kedonganan, Kecamatan Kuta Selatan, Kabupaten Badung tampak ceria mengikuti tradisi mebuug-buugan pada saat Ngembak Nyepi, Jumat (4/3). Warga tumpah ruwah mengikuti tradisi tersebut. Mereka benar-benar meluapkan kegembiraannya itu setelah dua tahun fakum. Kegiatan dimulai pukul 15.00 Wita dan berakhir pukul 18.30 Wita.
Bendesa Adat Kedonganan, Dr. Wayan Mertha SE, M.Si, mengatakan pelaksanaan tahun ini, untuk mengakomodir keinginan para Yowana (pemuda) Desa Kedonganan, yang sudah sangat rindu untuk kembali menggelar kegiatan ini. Apalagi, tradisi mabuug-buugan ini, telah ditetapkan sebagai Warisan Budaya Tak Benda secara Nasional, yang dibuktikan dengan perolehan dua sertifikat dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan tahun 2019 dan 2021. “Pelaksanaanya, yang masih dalam masa Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) ini, tetap memperhatikan penerapan protokol kesehatan, sesuai imbauan pemerintah,” ucapnya.
Mabuug-buugan ini mempunyai arti sebuah interaktivitas dengan menggunakan Buug (tanah atau lumpur) sebagai media. sesuai kajian dari Dinas Kebudayaan Kabupaten Badung, tradisi ini adalah bentuk ucapan syukur atas kesuburan yang telah dilimpahkan pada bumi pertiwi sebagai tempat manusia dan semua makhluk hidup berkembang biak. “Ini sebagai bentuk ucapan syukur serta sebagai visualisasi dari belenggu kekuatan Bhuta dan keterbebasan manusia dari kekuatan Bhuta itu sendiri,” kata Mertha yang juga dosen di Politeknik Pariwisata Bali ini.
Dalam tradisi Mabuug-buugan ini, manusia divisualisasikan dengan balutan tanah atau lumpur sebagai perwujudan dari Bhuta atau kekotoran yang melekat pada jiwa manusia. Untuk dapat menghilangkan kekuatan Bhuta dalam bhuana alit (badan kasar manusia), manusia memohon kepada kekuatan laut (Segara) sebagai penyempurnaan (Pemarisudha). Mabuug-buugan ini sudah menjadi Warisan Budaya Tak Benda (WBTB). “Ini adalah modal bagi kami untuk bisa dikembangkan menjadi atraksi wisata yang mudah-mudahan saja bisa menarik wisatawan,” ujarnya.
Tradisi ini diawali dengan berkumpul di Balai desa, kemudian berjalan menuju pantai timur. Di depan Pura Dalem, kemudian dilakukan prosesi upacara memohon kepada tuhan agar dilindungi. Pemangku kemudian memercikan tirta dari pura kahya desa, agar semua kegiatan bisa berjalan baik dan lancar. Setelah itu, peserta turun ke mangrove dan mulai melumuri tubuh dengan lumpur. Selang beberapa lama, tubuh peserta tertutup lumpur, mereka kemudian akan kembali ke atas dan menuju pantai barat untuk mandi dengan air laut agar kembali bersih.
Makna mabung-buugan ada dua, satu sebagai ucapan terimakasih kepada alam atas kesejahteraan hasil alam baik laut maupun hasil di daratan. Makna kedua adalah pembersihan jasmani dan rohani. Karena selama setahun ini pasti kita pernah melakuk a hal kurang baik. “Lumuran lumpur atau buug ini sebagai simbol kekotoran dalam tubuh yang perlu dibersihkan,” paparnya.
Tradisi ini dilakukan oleh semua masyarakat desa adat Kedonganan baik pria, wanita, baik dewasa maupun anak-anak. “Ini sebetulnya tradisi yang sudah ada sejak lama. Tahun 2015 ini kembali dibangkitkan dengan menggandeng muda mudi di Kedonganan untuk membangkitkan tradisi yang satu satunya ada di Bali,” ucapnya. (BTN/bud)
Leave a Comment
Your email address will not be published. Required fields are marked with *