Tari Leko Desa Sibang Gede, Kecamatan Abiansemal, Kabupaten Badung masih lestari hingga saat ini. Atas kegigihan masyaralat Desa Sibang dalam menjaga kesenian langka ini mendapat apresiasi dari pemerintah. Tari Leko yang memiliki kekhasan gerak dan iringan tersendiri ini menerima Sertifikat Kekayaan Intelektual (KI) dari Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia (Kemenkumham RI). Dengan mendapatkan hak paten ini, maka Tari Leko itu sudah menjadi hak paten sebagai milik Desa Sibang. Sertifikat ini sebagai tanda bukti kepemilikan Masyarakat Desa Sibang Gede.
Seniman yang juga tokoh di Desa Sibang, Anak Agung Ayu Kusuma Arini, SST, M.Si mengatakan, Tari Leko di Desa Sibang Gede ini merupakan Joged Kuno yang memiliki kekhasan gerak dan iringan tersendiri yakni dengan iringan rindik bambu. Keberadaan Tari Leko sudah ada sejak Tahun 1930, tetapi perkembangannya mengalami pasang surut karena kurang dikenal. Tarian klasik ini termasuk langka, dengan keunggulan tersendiri. Dalam pentasnya, Tari Leko ini diawali dari empat tarian yang bernuansa pelegongan unik, seperti Tari Condong, Tari Kupu-Kupu Tarum, Tari Goak Manjus dan Tari Onte.
Tari Leko Sibang Gede bentuk tarinya bernuansa palegongan. Diawali dengan Tari Condong merupakan tari abstrak yang ditarikan oleh seorang penari. Walau demikian, Tari Condong ini memiliki satu ciri khas yaitu ada gerak “ngitir”. Pada bagian kedua ada Tari Kupu-kupu Tarum yang merupakan tari berpasangan. Tari ini juga memiliki gerakan “ngitir”. Gerak “ngitir itu sebuah gerakan pinggul yang sangat cepat. Tangan membawa kepet, sementara kakinya diam, tetapi pinggulnya bergerak kesamping kanan dan kiri (seperti ngegol) dengan sangat cepat.
Bagian ketiga ada tari Goak Manjus merupakan tari berpasangan yang juga menampilkan gerak “ngitir”. Satu keunikan lagi dalam Tari Goak Manjus itu, memiliki gerak “mekejog” (melompat). Pada bagian terakhir ada Tari “Onte”, yang gerak tari yang unik pada Tari Onte adalah memulai tarian dengan gerakan meserod ke depan (tumit ditekan dan didorong kedepan dilantai dengan posisi penari ngejitin (bertolak belakang). Tari ini merupakan tari berpasangan, namun masing-masing memiliki kekhasan. Satu panari memakai Gelungan Leko berperan sebagai wanita, dan yang satu penari lagi menggunakan Topi Pandan. Perbedaan gelungan dan topi itu mengidetifikasikan sebagai laki dan perempuan yang berkasih-kasihan.
Perbedaan gelungan itu, tidak disebutkan apakah itu Nyonya China dan apa Belanda. Belum ada yang memastikan, karena itu hanya memperlihatkan sosok laki dan perempuan. Memakai gelungan seperti itu, Agung Arini memperkirakan mungkin itu karena pengaruh kesenian Gandrung (Joged Gudegan) yang ada di Desa Sibang Gede. Sayangnya, semua penari Gandrung ini hampir semuanya meninggal, sehingga tidak dapat mengorek keterangan yang pasti.
Pensiunana Dosen Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar ini menambahkan, berdasarkan informasi dari penari asli I Made Sudri (Jero Somanasa), Tari Leko konon sudah biasa pentas. Tari Leko itu sudah ada pada jaman penjajahan Belanda dan sebelum jaman Jepang, maka diperkirakan Tari Leko sibang itu sudah ada sekitar tahu 30-an. Pada saat itu, Tari Leko dipentaskan untuk membayar kaul dan hanya pentas di wilayah Desa Sibang Gede saja. Ketika ada warga yang ngotonin cucu, atau nganten lalu berkaul “Ngupah” nanggap Tari Leko. Tari itu kemudian dipentaskan di depan rumah, sehingga dapat dipastika Tari Leko Desa Sibang sebagai hiburan bukan kesenian saral.
Karena sudah sepuh, Jero Somanasa akhirnya meninggal, sehingga tidak banyak yang bisa digali dari keberadaan tari tersebut. Agung Arini, kemudian menggali lagi pada generasi berikutnya Meme Ketut Lisig yang berperan sebagai pelatih. Pada sosok Lisig ini, ia mendapatkan informasi, bahwa Leko Desa Sibang Gede sudah pernah tampil sampai ke Desa Blakiuh dan Dersa Serangan, sekitar tahun 1950-an. Dengan begitu dapat dipastikan, kesenian Leko ini sudah pentas ke luar desa, namun setelah itu, diperkirakan tahun 1960-an Tari Leko itu tidur. “Entah karena apa kesenian khas Desa Sibang Gede itu tidak pernah ada yang mementaskannya,” terangnya.
Mulai tahun 1980-an, para penari Leko yang rindu akan gerak-gerak tarinya yang unik kemudian kembali membangkitkan kesenian Leko itu kembali. tetap memakai gamelan itu. Maka setelah tahun 1985, ia mulai masuk pada sekaa kesenian Leko itu. “Namun, saya mendengar dari warga, Tari Leko itu konon diperkiraklan datangnya dari Kurubaya, Desa Sempidi. Namun yang mengajar itu tidak ada yang tahu, kapan dan siapa nama pelatihnya,” bebernya.
Agung Arini mengaku, keberadan Tari Leko di Desa Sibang Gede masih asri hingga saat ini. Itu karena masyarakat Sibang Gede sebagai pendukung tidak pernah kendor untuk menjaga dan melestarikan seni tergolong tua itu. Walau keberlangsungnnya kembang dan kempis, namun semangat itu masih ada pada jiwa masyarakat Sibang itu. Melihat semangat itu, Agung Arini merasa terenyuh, kemudian ikut larut dalam kegiatan latihan Tari Leko itu. “Saya minta ijin pada mertua untuk membantu warga membangkitkan kembali leko yang ada,” ucapnya.
Sejak 1985 itu, Agung Arini berbaur bersama panari-penari desa itu untuk berlatih. Setiap sekaa itu berlatih ia pasti datang untuk ikut membantu mengingat-ingat gerak Tari Leko yang dulu pernah ada. Kegiatan latian itu dilakukan secara terus-menerus tanpa ada pentas. Pada 1993, kemudian ada Lomba Desa tingkat Provinsi Bali, dimana Desa Sibang Gede mewakili Kabupaten Badung. Saat itu menampilkan kesenian yang ada di Desa Sibang melalui kegiatan pawai adat, salah satunya Wyang Calonarang. “Untuk Tari Leko pentas khusus di Wantilan yang disaksika oleh Tim Penilai,” kenangnya.
Pada saat itu, Tari Leko masih panjang. Gamelan alat musim yang mengiringi merupakan milik perseorangan. Yaitu milik Wayan Dana. Setiap akan latihan di banjar, diawali dengan meminjam gamelan lalu dibawa ke banjar. Tetapi, pada saat pentas meminjam gamelan Leko di Kokar, (SMKN 3 Sukawati sekarang). Bentuk gamelan itu sangat khas, yaitu memakai daun rindik mepelawah. Pada saat ini, kesenian Leko mendapat sambutan yang luar biasa, sehingga mampu mendorong para pendukung untuk melestarikannya.
Tari Leko yang pada awalnya itu tergolong panjang karena terjadi banyak pengulangan gerak yang sama. Belakangan kemudian dipotong, sehingga durasinya menjadi 4 menit. Itu juga untak menyesesuaikna denga tempat pentas. Namun, dibagian ibing-ibingan masih tetap dengan memiliki 3 lagu yang sangat manis. Semenjak itu, Tari Leko Sibang Gede mulai dikenal masyarakat luas. Apalagi pada Pesta Kesenian bali (PKB) 1994. Dengan melibatkan 7 orang poenari yang terdiri dari 1 orang penari Condong, dua penari Kupu-kupu Tarum, 2 penari Goak Manjus, dan dua orang penari Onte. Selanjutnya ibing-ibingan olah penari itu sendiri, juga disiapkna penari khusus untuk bagian ibing-ibingan.
Pernah pula tampil pada Festival Legong oleh YayasanWalter Spies (1995), Pembukaan Pesta Kesenian Bali Kabupaten Badung (1997) yang digelar di Kuta, Pemetasan Tari Klasik di Taman Budaya Art Center Denpasar (2007), Pesta Kesenian Bali (2013). Pada Desember 2017, Tari leko Sibang Gede kemudian ditetapkan sebagai Warisan Budaya Tak Benda dan menerima sertifikat penetatapan itu dari Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. Sempat pula pentas untuk untuk menghibur wisatawan, sepeti di Nusa Dua, di Puri Bongkasa, Teges Ubud Gianyar dan di Sanur untuk wisatrawan. “Pentas itu, karena Tari Leko Sibang Gede sudah mendapatkan Pramana Patram Budaya pada 13 Desember 1999,” ujarnya. (BTN/bud)
Leave a Comment
Your email address will not be published. Required fields are marked with *