Kegiatan Pengabdian Kepada Masyarakat (PKM) yang dilaksanakan oleh para Dosen Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar mampu memberikan nafas bagi kesenian-kesenian yang ada di masyarakat. Entah itu melestarikan kesenian yang hampir punah, mewujudkan yang baru dan megelaborasi tari yang sudah ada, sehingga mampu menjadi identitas sebuah desa sebagai pendukungnya. Sebut saja Tari Rejang Shanti yang ada di Banjar Desaanyar, Desa Lalanglinggah, Kecamatan Selemadeg Barat, Kabupaten Tabanan ini. Tari yang diciptakan oleh Ni Wayan Suartini, S.Sn., M.Sn, pada tahun 2020, kini melalui PKM dielaborasi atau disesuaikan kembali dengan potensi seni yang ada, sehingga menjadi Tari Rejang Shanti sebagai pengiring upacara di pura banjar tersebut.
Suartini selaku Ketua Tim PKM serta I Ketut Sariada dan I Gede Mawan sebagai anggota yang dibantu dua mahasiswa Jurusan Tari mampu mewujudkan sebuah tarian upacara piodalan di desa tersebut. Hal itu diwujudkan, setelah prejuru desa setempat membutuhkan dan bisa memiliki sebuah tari dan tabuh ritual untuk pengiring piodalan di pura di desanya. Dengan permasalahan itu, Tim yang dipimpinnya ini memberi pelatihan tari maupun pelatih tabuh Rejang Shanti kepada masyarakat di Banjar Desaanyar. “Kami bersyukur, Tari Rejang Shanti itu telah terwujud, semoga dapat menjadi solusi dari permasalahan yang dialami oleh masyarakat Banjar Desaanyar,” ungkapnya, Kamis (16/9).
Ketika ditampilkan pada Rahihna Tumpek Landep, Sabtu 11 September 2021 bertempat di pura di banjar itu, Tari Rejang Shanti memiliki gerak yang sangat khas. Meski bentuknya sangat sederhana, tetapi mampu memberikan spirit dari masyarakat Banjar Desaanyar sebagai pendukungnya. Sebagai penarinya, remaja atau pemudi dan PKK. Musik iringan yang menggunakan Gamelan Semarandana memberikan nuansa klasik yang kental. Keunikannya, terletak pada gerak tarinya yang terinspirasi dari gerak papendetan yang ada. “PKM ini untuk memberikan pelatihan Tari Rejang Shanti dalam mengiringi upacara piodalan di Banjar Desaanyar. Sebelumnya, belum ada tari ritual upacara piodalan, seperti Tari Rejang di pura banjar tersebut,” ungkap Suartini.
Untuk mewujudkan tari itu, Tim PKM ini telah melakukan pertemuan dengan prajuru desa setempat, sehingga meutuskan untuk melakukan pelatihan tari dan tabuh Rejang Shanti di Sanggar Seni Shanti Werdhi Gita Banjar Desaanyar. Metode pelaksanaannya dengan ceramah, demonstrasi, dan pendampingan dalam pelatihan. “Kami memberikan pelatihan serta memaparkan tentang wawasan, filosofi, serta nilai-nilai luhur yang terkandung di dalam Tari Rejang Shanti, sehingga dapat mengetahui makna dari tarian tersebut. Dengan begitu hasil dari pelatihan tari dan tabuh Rejang Shanti ini akan lebih mudah mengekspresikan serta dapat dilestarikan,” paparnya.
Amu demikian sapaan wanita asal Kuta ini, disamping untuk memupuk rasa kebersamaan dan menumbuhkan jiwa peduli terhadap kesenian tradisi, Tari Rejang Shanti ini untuk menguatkan seni di masyarakat yang berkaitan dengan seni ritual sebagai pengiring upacara piodalan. Pemahaman dan penguasaan tentang bentuk, filosofi dan makna akan mampu membawa masyarakat menjadi penari yang metaksu (memiliki kekuatan dalam) sebagai salah satu kekuatan tari Bali. “Kegiatan ini juga untuk mendekatkan lembaga Institut Seni Indonesia Denpasar dengan masyarakat khususnya Banjar Desaanyar, dan mengimplementasikan hasil penciptaan dan kepakaran yang dimiliki dosen ISI Denpasar,” bebernya.
Tari Rejang Shanti ini merupakan tari persembahan, rasa puji syukur kehadapan Ida Sanghyang Widhi Wasa atas turunnya parawidyadari ke dunia untuk menyaksikan upacara piodalan, sehingga masyarakat menjadi damai di hati damai didunia. Manfaat dari pelatihan tari dan tabuh Rejang Shanti bisa dijadikan sebagai identitas bagi masyarakat Banjar Desaanyar, disamping dapat memperkaya kasanah berkesenian yang dimiliki di banjar ini. “Kegiatan pelatihan Tari Rejang Shanti diawali dengan pelatihan tari dengan memberikan teknik dasar tari,” akunya.
Selanjutnya proses pelatihan yang dilakukan bagian perbagian mulai dari pangawit, pangawak, pangecet dan pakaad. Kemudian menggabungkan seluruh bagian menjadi satu yang dilakukan secara berulang-ulang, sehingga para peserta dapat menguasai secara baik dan benar. Begitu juga dengan penabuhnya melakukan pelatihan dari bagian pangawit, pangawak, pangecet, dan pakaad. Lalu, digabungkan antara tari dengan iringannya, sehingga penguasaan Tari Rejang Shanti menjadi satu kesatuan dengan musik pengiringnya.
Pelatihan ini memerlukan waktu enam bulan, mulai dari observasi, pelatihan dan diakhiri dengan pementasan disertai dengan perekaman. Pementasan dan perekaman merupakan evaluasiter akhir dari semua materi yang telah diberikan pada waktu pelatihan dengan menggunakan tata rias dan kostum Tari Rejang Shanti diiringi gambelan Semarandana. “Hasil dari pelatihan tari dan tabuh ini adalah pembuatan video. Hasil dari pementasan ini, kami berharap masyarakat Banjar Desaanyar dapat mempergunakan secara terus menerus sebagai pengiring upacara piodalan di pura,” tutup senman tari yang biasa pentas di tingkat lokal, nasional, dan internasional. (BTN/bud)
Leave a Comment
Your email address will not be published. Required fields are marked with *