Teater Multimedia ‘Para Peri Penjaga’ Ingatkan Menjaga Hutan dan Sumber Air

Teater Multimedia ‘Para Peri Penjaga’ Ingatkan Menjaga Hutan dan Sumber Air

Festival pergantian musim digelar di sebuah hutan lindung, beberapa hari sebelum jadwal musim hujan tiba. Pelaksanaan festival tiba-tiba kacau. Sumber air mendadak surut, suplai oksigen berkurang, daun-daun dari pepohonan hutan meranggas hebat, lampion yang disiapkan mati tertiup angin kencang. Para peri rapat. Kepala dan penasihat peri menginterogasi pada semua peri yang bertugas. Akhirnya, sidapat kekacauan diakibatkan dari luar kawasan hutan lindung yang disebabkan oleh manusia. Manusia mengeksploitasi bumi dan sumber daya alam tanpa memikirkan masa depan generasi selanjutnya.

Itulah sekelumit kisah Utsawa (Parade) Pertunjukan Teater Multimedia bertajuk ‘Para Peri Penjaga’ persembahan Sanggar Seni Kalpasastra (Denpasar) yang berkolaborasi dengan Stage of Wawan Sofwan (Bandung) yang tampil di Wantilan Taman Budaya Provinsi Bali, Senin (17/10) malam. Parade teater serangkaian Festival Seni Bali Jani (FSBJ) IV itu disutradarai oleh Wawan Sofwan dan Galih Mahara sebagai koreografer. “Cerita ini digarapnya terinspirasi dari kepercayaan-kepercayaan yang ada di kampung halamannya di Panjalu, Ciamis, Jawa Barat,” kata Wawan Sofwan.

Dalam garapan ini, dirinya berangkat dari mitos-mitos, kepercayaan-kepercayaan di kampungnya. Sesungguhnya pamali atau tabu menebang pohon sembarangan. Memang, saat ini yang pamali-pamali itu sudah menipis, sehingga ini direspons untuk sebuah pertunjukan. “Di sana ada danau di tengahnya ada pulau. Kami percaya sekali kalau mengambil sesuatu dari pulau itu kami tidak akan bisa kembali ke darat jadi sampai sekarang masih utuh flora fauna di sana,” imbuhnya.

Untuk tampil di FSBJ ini, pihaknya mempersiapkan sekitar dua bulan. Para peri merupakan penari mahasiswa UPI (Universitas Pendidikan Indonesia) dan ISBI (Institut Seni Budaya Indonesia). Untuk menampilkan dunia peri sebagai ‘dunia atas’, dirinya memanfaatkan bantuan multimedia. Pencahayaan sengaja diletakkan di bawah, sehingga mendapat efek jika peri berada di atas. Selain itu, yang terlihat unik dan menarik, para pemeran peri yang terdiri dari sembilan perempuan penari berdiri menggunakan egrang, sebuah permainan tradisional terbuat dari bambu.

Dengan egrang ini para peri juga terlihat sebagai sosok ‘di atas’. “Ini pengembangan dari egrang. Saya pertama kali menggarap egrang merespons Covid. Waktu itu tidak boleh main di dalam ruangan, bagaimana caranya kalau di outdoor tidak harus bikin panggung akhirnya pakai egrang yang tingginya 50 cm,” kata Wawan sembari menyebut ‘Para Peri Penjaga’ baru pertama kali dipertunjukkan.

Koreografer Galih Mahara mengatakan, melalui tarian dirinya berusaha menampilkan sosok peri yang bisa memikat para penonton. Karena bagian kaki penari berkonsentrasi menggunakan egrang, dirinya pun berusaha memaksimalkan gerakan para peri dari bagian pinggang ke atas. “Secara koreografi saya berusaha agar gerakan-gerakan pemain dapat dilihat sebagai sosok peri di mata penonton,” ujarnya.

Pesan yang ingin disampaikan melalui pertunjukan ini, diharapkan dapat diterima oleh penonton bagaimana manusia dapat menghargai alam. “Kami para peri akan dengan sekuat tenaga mengambil alih semuanya karena manusia tidak dapat dipercaya untuk memelihara. Hanya keajaiban semesta yang dapat menyadarkan dalam kepalanya sebelum dibangunkan dalam penyesalan,” ungkapnya. (BTN/bud)

Posts Carousel

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked with *

Latest Posts

Top Authors

Most Commented

Featured Videos

Need Help? Chat with us