“The Last Stronghold” Karya Instalasi Putrayasa di Subak Padang Dalem Tegalalang

“The Last Stronghold” Karya Instalasi Putrayasa di Subak Padang Dalem Tegalalang

Jika sedang melintas di kawasan Subak Padang Dalem, Kecamatan Tegalalang, Kabupaten Gianyar, jangan kaget kalau menemukan tiang-tiang penyangga mata bajak menancap ke tanah sawah yang dianyam menyerupai mata bajak berderet tegak menengadah langit. Itu adalah karya seni instalasi Ketut Putrayasa, perupa asal Badung itu. Karya itu tergolong unik, namun memiliki makna besar sebagai bentuk pemberontakan estetik sang penggarapnya. Seni instalasi itu dipajang di hamparan sawah yang hijau.

Karya terbaru Putrayasa itu bertajuk “The Last Stronghold, Benteng Terakhir yang mencoba mewartakan alih fungsi lahan secara masif, lalu mempertanyakan ‘nasib’ nilai-nilai yang ada dalam aktivitas bertani tersebut. Uma (sawah) bagi masyarakat Bali tak sekadar media bertani, namun lebiuh dari pada itu. Bertani bagi masyarakat agraris adalah salah satu upaya kebertahanan pangan yang sarat nilai, seperti ada nilai edukasi, nilai religius dan nilai kultural. Dalam proses bertani, masyarakat ‘diajarkan’ untuk memuliakan tanah, menjaga air dan memelihara ekosistem makhluk hidup serta bersyukur atas anugerah Tuhan.

Dalam proses tersebut, kemudian ada ritual (nilai religius) menyertainya, seperti prosesi mapag toya, mewinih, biyukukung, mantenin padi dan sebaginya. Lalu, di waktu jeda bertani, masyarakat agraris melakukan aktivitas berkesenian. Banyak seni lahir dari budaya padi yang diwariskan dari generasi ke generasi, hingga kini. Demikian strategisnya fungsi sawah, maka ketika belakangan terjadi alih fungsi lahan secara masif, lantas bagaimana nasib nilai-nilai yang ada dalam aktivitas bertani itu.

Pemilik Rich Stone itu, melihat hadirnya sawah-sawah atau ladang yang menghijau itu, bukanlah medium atau instrumen untuk sekadar menanam padi dan sejenisnya. Sawah merupakan ruang-ruang imaginer, serta tatanan pengetahuan masyarakat agraris dalam membangun hubungan sosial serta ruang budayanya. The Last Stronghold merupakan bahasa ungkap atas problemetika sawah serta kondisi subak saat ini di Nusantara, khususnya di Pulau Dewata. Putrayasa melihat dan membacanya secara holistik lewat karya seni rupa.

Mempertahankan ruang-ruang hijau sawah dalam situasi saat ini, memang sangat sulit. Tetapi, melihat kondisi sawah saat ini, bisa saja itu sebagai bahan perenungan atau kontemplasi. “Saya melihat hadirnya sawah-sawah atau ladang yang menghijau, bukanlah medium atau instrumen untuk sekedar menanam padi dan sejenisnya. Saya melihat, sawah merupakan ruang-ruang imaginer serta tatanan pengetahuan masyarakat agraris dalam membangun hubungan sosial serta ruang budaya,” tegas Putrayasa.

Maka itu, karya ini menjadi sebuah catatan, apakah sawah itu sangat penting untuk dipertahankan? Bukankah ada cara-cara lain yang lebih seksi untuk memenuhi kebutuhan finasial dari pada menanam sepetak padi? Namun, Putrayasa melihat ada hal penting kenapa sawah harus dipertahankan. Baginya, hubungan sawah dengan masyarakat bukanlah dalam bentuk materi semata, akan tetapi kehadiran sawah dengan konsep subaknya merupakan energi spirit bagi masyarakat. Sawah dalam manifestasinya merupakan benteng dari peradaban agraris. Terbangunnya hubungan yang harmonis antarmasyarakat dengan lingkungannya (eco culture) merupakan suatu nilai keutamaan hingga saat ini dan belum bisa ditukar dengan sesuatu apapun. (BTN/bud)

Posts Carousel

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked with *

Latest Posts

Top Authors

Most Commented

Featured Videos

Need Help? Chat with us