Tradisi Mabuug-buugan yang masih asri di Desa Kedonganan, Kecamatan Kuta Selatan, Kabupaten Badung telah meraih Sertifikat Kekayaan Intelektual (KI) dari Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia (Kemenkumham RI). Dengan mendapatkan hal paten ini, maka tradisi Mebuug buugan itu sudah menjadi hak paten sebagai milik Desa Adat Kedonganan. “Kami besyukur dan sangat berterima kasih kepada pemerintah, khususnya Bapak Gubernur Bali yang memperjuangan Tradisi Mabuug-buugan sebagai Kekayaan Intelektual berbasis Komunal. Sertifikat ini sebagai tanda bukti kepemilikan Masyarakat Desa Adat Kedonganan,” kata Bendesa Adat Kedonganan, Dr. Wayan Mertha SE, M.Si, Selasa (9/2).
Wayan Mertha mengatakan, tradisi Mabuug-buugan di Desa Kedonganan ini sebuah interaktivitas dengan menggunakan siruasi “buug” tanah basah (lumpur) sebagai medianya. Sesuai kajian dari Dinas Kebudayaan Kabupaten Badung, tradisi ini adalah bentuk ucapan syukur atas kesuburan yang telah dilimpahkan pada bumi pertiwi sebagai tempat manusia dan semua makhluk hidup berkembang biak. Pelaksanaannya pada saat Ngembak Geni, sehari setelah Sipeng dan biasanya sudah dimulai prosesinya pukul 14.00 Wita. Tradisi ini diikuti oleh sekitar 1.000-1.200 orang dari 6 Banjar, yaitu Banjar Pasek, Kertayasa, Pengenderan, Anyar Gede, Ketapang, dan Banjar Kubualit.
Mebuug buugan ini, juga sebagai visualisasi dari belenggu kekuatan Bhuta (aura negatif) dan keterbebasan manusia dari kekuatan Bhuta itu sendiri. Manusia divisualisasikan dengan balutan tanah atau lumpur sebagai perwujudan dari Bhuta atau kekotoran yang melekat pada jiwa manusia. Untuk dapat menghilangkan kekuatan Bhuta dalam buana alit (badan kasar manusia), manusia memohon kepada kekuatan laut (Segara) sebagai penyempurnaan (Pemarisudha). “Tradisi ini dilakukan oleh semua masyarakat desa adat Kedonganan baik pria, wanita, baik dewasa ataupun anak-anak,” jelasnya.
Tradisi ini tidak sembarangan dilakukan: adapun prosesinya, pertama, seluruh peserta dikumpulkan di depan Pura Bale Agung atau di depan Catus Pata. Mereka diberikan penjelasan tentang tradisi ini, maknanya, apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan (Do and Don’t) selama prosesi. Pada saat itu juga berlatih nyanyian khas tradisi ini. Adapun lagunya; “mentul menceng – mentul menceng glendang glendong – glendang glendong” lagi ini dinyanyikan pada saat mereka di pantai saat melumuri tubuhnya dengan lumpur.
Proses kedua, seluruh peserta dilepas oleh Jro Bendesa Adat Kedonganan, untuk selanjutnya bergerak ke arah Pantai Timur Kedonganan yang dipenuhi hutan mangrove. Sebelum masuk ke laut dan melumuri tubuh mereka dengan buug, terlebih dahulu seluruh peserta berdoa kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa, memohon keselamatan, perlindungan, dan anugerah kesejahteraan lahir bhatin. Selanjutnya Jro Mangku Kahyangan Desa memercikkan Tirta Pengelukatan kepada seluruh peserta peserta. Setelah itu peserta tradisi melumuri seluruh tubuhnya dengan buug/lumpur. Kemudian, berbaris dengan tertib untuk kemudian bergerak ke Pantai Barat melalui jalan by pass Ngurah Rai.
Proses ketiga, seluruh peserta yang sudah sampai di Pantai Barat Kedonganan, selanjutnya menceburkan diri ke laut dan membersihkan semua buug (kekotoran) yang melekat di tubuh mereka. Begitu semuanya bersih, mereka duduk dengan tertib di pasir, untuk selanjutnya Jro Mangku kembali memercikkan dan nunas Tirta Amerta Sanjiwani yang ditunas di segara. Begitu semua peserta selesai nunas tirta, maka selesailah prosesi tradisi Mabuug-buugan ini. Selanjutnya peserta bisa menikmati hiburan atau pulang ke rumah masing-masing.
Dosen Poletiknik Bali ini menjelaskan, tradisi Mabuug-buugan ini tidak diketahui secara pasti kapan mulainya. Berdasarkan cerita kakeknya, saat ini kecil dulu sudah napetang (sudah ada) tradisi ini. Sempat tradisi ini redup seputar tahun 1965 an (mungkin karena Gestok), sampai dengan tahun 1990an. Namun, generasi muda yang tergabung dalam Karang Taruna dan Pemuda Eka Santhi Kedonganan menggali dan membangkitkan kembali tradisi ini. Selanjutnya Prajuru Desa Adat Kedonganan menampilkan secara rutin tradisi ini sampai sekarang. “Kami pernah berencana menampilkan tradisi ini secara besar-besaran dengan melibatkan krama desa (peserta dari luar desa) termasuk wisatawan, akhirnya dibatalkan karena Pandemi Covid-19,” paparnya.
Penggalian atas pemaknaan filosofi dari tradisi ini terus dilakukan .sehingga masyarakat pelaku ataupun yang menyaksikan akan mengetahuinya. “Kedepan, kami mohon bimbingan dan pembinaan dari pemerintah Bali, agar tradisi ini terus dapat dilestarikan, bahkan dikembangkan menjadi Atraksi Wisata Budaya Khas Desa Kedonganan yang dapat melengkapi daya tarik wisata kuliner (seafood cafe) yang sudah duluan berkembang. Kami berharap, agar pemerintah dapat mencantumkan tradisi unik ini dalam Calender of Event Pariwisata Bali, sehingga wisatawan dapat melihat dan menikmatinya sesuai jadwal yang pasti,” harapnya.
Kadek Indra Wijaya salah satu prejuru yang biasa sebagai Ketua Tradisi Mebuug buugan ini mengaku, saat melakukan prosesi permainan tradisional khas kedonganan,itu ia merasanya sangat bahagia. Karena semua lapisan masyarakat Kedonganan ikut meramaikan permainan, yang diawali dengan segala persiapan rentetan upacara adat yang bersamaan dengan hari raya nyepi. “Tradisi mebuug buugan ini sebagai penutup dihari raya Nyepi tersebut. Karena sebelum melakukan persiapan perayaan hari raya Nyepi seperti melasti, upacara agama tawur kesange, pawai ogoh”, melaksanakan brata penyepian, dan melaksanakan mebuug buugan,” kenangnya. (BTN/bud)
Leave a Comment
Your email address will not be published. Required fields are marked with *