Hampir 16 bulan pariwisata Bali tak bisa bernafas akibat pandemic Covid-19. Hal itu menjadi pukulan berat bagi Sugeng Riyadi, salah satu dari sekian ribu pekerja yang menyandarkan hidupnya dari sektor pariwisata di Pulau Mungil ini. Sejak pandemic itu, hotel tempatnya bekerja itu tidak banyak mendapatkan tamu, sehingga berpengaruh terhadap penghasilannya. Apalagi, sejak 1 Juli 2021 hotel tempatnya menggantungkan hidup itu tidak beroperasi akibatnya tidak ada penghasilan lagi. “Sebagai tulang punggung keluarga, saya harus bekerja untuk memastikan anak dan isteri tetap bisa makan,” ucap Sugeng Riyadi, Selasa (20/7).
Pria yang hampir 29 tahun sebagai pekerja hotel ini harus memutar otak agar bisa mendapatkan rejeki untuk menjalani hidup di tengah ketidakpastian kapan pandemi berakhir. Ia mencari nafkah dengan mengelola usaha kuliner dengan nama “Cafe Rumahan”. Ia mengelola usaha sendiri, sambil menunggu industri pariwisata bisa menggeliat lagi. “Saya berusaha mengelola usaha sendiri dengan harapan bisa menyambung hidup, di tengah ketidakpastian ini. Seberapa pun hasilnya, saya akan tetap bersyukur,” imbuhnya.
Pria kelahiran, 2 Desember 1970 ini memang masih tercatat sebagai karyawan hotel sampai sekarang. Jabatannya sebagai Night Auditor. Saat Covid-19 mewabah sejak Februari 2020, pariwisata pun sangat berdampak. Ia tetap mencoba untuk bertahan, namun sampai saat ini pandemi belum berakhir dan hotel kemudian tidak beroperasi alias ditutup. “Sejak itu, saya tidak memiliki penghasilan lagi. Saya putuskan untuk membuka usaha kuliner di rumah sendiri. Saya melakukan promosi via Social Media Instagram @caferumahanbali dan promosi door to door serta kerjasama online grabfood,” paparnya.
Belum genap sebulan, Café Rumahan yang beralamat di Jalan Kubu Gunung I No. 4 Banjar Tegaljaya, Desa Dalung, Kabupaten Badung itu sudah mulai dikenal orang karena tagline usaha “Makan Enak Nggak Perlu Mahal”. Hanya dengan 10 ribu sudah dapat makan enak dan gratis es teh manis atau air mineral. Dalam sehari ia bisa menghasilkan rata-rata 250 ribu per hari. “Akibat banting setir ini, saya bisa bertahan hidup di saat pandemic. Saya dengan empat orang anak akhirnya bisa makan. Kalau dibandingkan kerja di pariwisata, itu memang ada kelebihan dan kekurangannya. Yang pasti usaha milik sendiri tentu lebih bagus. Apalagi bisa dilakukan beriringan tentu lebih bagus,” sebutnya.
Suami Irma Yusnita ini merupakan tamatan BPLP Bali (sekarang Poltekpar Bali). Ia memilih sekolah perhotelan karena ingin cepat bekerja. Saat itu, pariwisata Bali sedang naik daun yang banyak membutuhkan tenaga terampil dibidang pariwisata. “Jujur, akibat banting setir ini bisa membuat saya bertahan hidup disaat pandemi dengan keluarga,” ujarnya dengan nada senang.
Usaha yang dikelola dengan resep makanan rumahan, seperti Nasi Ayam Betutu, Nasi Gudeg, Nasi Opor Ayam, Lontong Lodeh , Nasi Rendang Jengkol, Nasi Ceker Rica- Rica. Termasuk juga makanan dan minuman kekinian, seperti Sandwich, Roti Bakar, Aneka Rasa Minuman Boba serta Caffe Latte , Hot Chocolate dan Cappucino. “Kalau rentang harga 5000 – 10000 per item. Pemesanan untuk acara ulang tahun , acara keagamaan, rapat bisa hubungi via whatsapp 081999750999 (free delivery),” imbuhnya. (BTN/bud)
Leave a Comment
Your email address will not be published. Required fields are marked with *