Meski belum ada penerbangan dari luar negeri ke Bali, setelah open border dilakukan pada 14 Oktober 2021 lalu, namun pengelola usaha pariwisata menyambut baik kebijakan-kebijakan yang telah dilakukan. Ketika open border dengan cakupan negara-negara yang awalnya 5 negara kemudian berkembang menjadi 19 negara, masa karantina yang awalnya 8 hari kemudian berubah menjadi 5 hari, yang semua itu menjadi perkembangan cukup positif. “Kami menyambut gembira perkembangan yang dilakukan pemerintah,” kata Ketua Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Tabanan, I Gusti Bagus Made Damara, Jumat (22/10).
Itu karena kondisi penyebaran Covid-19 di Bali sudah mulai dianggap melandai, sehingga terjadi penyesuaian-penyusaian dengan kondisi riil. Hal itu juga berita yang sangat menggembirakan, tinggal sekarang semua ikut menjaga agar kasus tidak lagi naik, bahkan menghilang. “Kabar adanya surat dari Konjen Australia kepada Dinas Pariwisata Bali yang mengatakan, negara tersebut mulai bulan November memberikan kelonggaran pada rakyatnya untuk bepergian ke luar negeri,” sebutnya.
Bali sangat tergantung dari sektor tourism, baik secara langsung ataupun tidak langsung kontrbusi terhadap perekonomian Bali yang tidak kurang dari 60 persen datangnya dari pariwisata. Oleh sebab itu, dengan proses krisis pandemni yang mendekati dua tahun ini merusak sendi-sendi perekonomian masyarakat Bali secara signifikan. “Oleh sebab itu, sangat wajar kalau berita tentang kehadiran dari para wisatawan sangat di tunggu-tunggu. Maka itu, ketika pemerintah membuat kebijakan open border, disitu ada harapan besar bahwa itu akan memberikan pengaruh signifikan terhadap perkembangan bisnis masyarakat Bali,” ucapnya.
Managing Director Dewi Sinta Hotel & Restotan ini mengajak semua mesti harus paham bencana pandemi sangat berbeda dibanding dengan bencana yang lain, seperti bencana alam dan lainnya. Karena itu perkembangannya masih belum bisa dianggap sudah pasti akan selesai. Sementara di lain sisi, kebijakan dari 18 negara itu ada yang mengatakan negara-negara tersebut tidak terlalu signifikan. “Ada pula yang mengatakan dengan masa karantina selama 5 hari dengan rata-rata kunjungan sebegitu pula, sehingga memerlukan waktu cukup panjang untuk tamu berwisata ke sebuah tujuan wisata. Belum lagi negara-negara sumber perekomnomiannya juga belum pulih,” imbuhnya.
Intinya, tegas Damara ada banyak hal yang menjadi pertimbangan pulihnya pariwisata, normal seperti dulu. Sebut saja, negara-negara yang dibuka itu bisa jadi bukan market para pengelola usaha itu, wisatawan dari luar negeri datang ke tempat tujuan setelah dibuka tidak akan secara langsung bisa datang. “Informasi pembukaan kan baru, sedangkan orang yang ingin berlibur kan memerlukan persiapan. Kecuai untuk tujuan bisnis, sehingga ketika dibuka mereka langsung berangkat. Tetapi, kaau yang ingin berlibur pasti berpikir sekian-kali,” ujarnya.
Mereka yang berbisnis mungkin sudah mendapatkan informasi terkait suasana di Bali, tetapi untuk yang ingin liburan tentu akan menggali informasi riil yang ada di Bali, sehingga memerlukan persiapan lagi. “Kalau kita berharap besar dalam jangka pendek, mesti perlu bersabar. Secara realitis ngomong pariwisata hari ini, antara 3 sampai 6 bulan kedepan paling riil kita harus menggaet market domestik. Karena transportasi Jawa Bali lancar, tol di Porbolinggo lancar, dan mekanisme bepergian antara pulau juga cukup murah. Naik mobil bisa berbanyak dengan lebih murah, sehingga parket domestik cocok dengan kondisi ekonomi yang belum stabil ini,” ungkapnya. (BTN/bud)
Leave a Comment
Your email address will not be published. Required fields are marked with *